Senin, 30 Juni 2014

HARI PERTAMA: Bersama Cinta




 Saat kata menjelma menjadi resah, 
Apakah kita benar-benar sama-sama menunggu? Ataukah...,
Hanya pembenaran pada diri 
yang terlalu akrab dengan gejala cinta
Entahlah. 
-----------------------------------------------------------------------
Kudapati kabar, guru Kewarganegaraan, Pak Rahman, tidak bisa masuk di kelas. Anaknya tiba-tiba demam tinggi. Aku jelas tahu itu. Ya, karena aku adalah ketua kelas. Seperti biasa, info itu kudapat setelah kucek kehadiran Pak Rahman di ruang guru. 

Sebagian dari kami tampak lesu *di kelas*. Tak ada lagi mata pelajaran hingga jam belajar berakhir. Seperti biasa, kalau sudah begini, bukan cuma pemandangan muka lesu dalam penantian pulang saja yang nampak. Ada juga beberapa pasang muka kegirangan, berpikir bahwa ada waktu yang cukup untuk sekedar berbagi cerita dengan yang lain, selagi menghilangkan sterss, karena baru saja pelajaran matematika berakhir.

Beberapa kaki-kaki melangkah ke kantin beriringan pembicaraan tentang makanan yang akan mulut-mulut santap bersama. Ada yang sekedar menghabiskan waktu untuk memandangi indahnya pelataran sekolah di depan pintu kelas. Di dalam kelas, tersisa beberapa orang. Ada aku dan beberapa teman. Di sudut belakang, kuperhatikan begitu riangnya menyanyikan lagu-lagu yang lagi tren, diiringi gitar. Ya, begitu ributnya. Kebetulan kelas sebelah juga tak ada guru. Sebenarnya, tak semudah itu memainkan gitar di dalam kelas. Rikhno, si pemilik gitar butuh sedikit perjuangan untuk menenggerkan gitar di dalam kelas. Pagi-pagi sekali Rikhno mesti ke sekolah. Motor ia parkir di rumah teman yang tak begitu jauh dari sekolah, dan lewat pagar belakang sekolah satu-satunya jalan yang pas buat meloloskan gitar. 

Kenapa seperti itu? Ini sebenarnya berawal dari kejadian dua minggu lalu. Salah satu seniorku mesti menelan ludah dengan pahitnya ketika gitar kesayangannya beradu tangkas dengan tembok, hancur. Pak Allim mengadunya dengan tembok tanpa ampun. Si senior memang salah. Di kelas sebelah belajar agama, sementara di kelasnya dia begitu asyik menggugah irama dengan pertemuan jejari tangan dan senar gitarnya. Katanya, seniorku itu sempat menangis, dan herannya lagi semenjak ku tahu dia adalah lelaki. Setelah kejadian itu, tak ada alasan lagi membawa gitar ke sekolah, kecuali atas rekomendasi guru seni. Pak Alim adalah kepalah sekolah di sekolah kami, dan tindakannya memang sudah wajar. Semua siswa di sekolah memang sudah tau, Pak Alim adalah sosok yang bijak dan disiplin, kadang ia temperamen ketika mendapati hal-hal yang menurutnya melanggar.

Di kelas, Rikhno dan beberapa teman terus melanjutkan lagunya. Aku juga merasa tenang, karena suaranya memang merdu. Apalagi kalau ada Dian seperti biasanya, pasti kolaborasinya lebih mendamaikan hati mendengarnya. Sesekali kutegur jika suaranya kelewatan besar, dan mereka paham. Aku bergabung sebentar, kuminta Rikhno memainkan gitarnya untuk mengiringi lagi yang kuminta. Di ekskul, kami memang terbiasa sama-sama dalam aktivitas ini, sambil menanti aktivitas mulai. Karena aku lebih memilih devisi teater.

Masih di kelas, di sisi yang lain, mataku tertuju pada beberapa teman perempuan membentuk melingkar, mereka sepertinya membicarakan beberapa hal. Apa ya? Kulihat, sepertinya seru. Terlihat dari raut wajah beberapa di antar mereka yang sesekali saling melempar senyum dan tawa. Kusebut itu gosip. 

Diantara semua kumpulan yang mendadak terbentuk di kelas siang itu, perempuan-perempuan melingkar ini memang tergolong paling ramai. Aku semakin penasaran, padahal ini harusnya wajar saja ketika melihat beberapa perempuan sekedr berkumpul untuk membicarakan beberapa hal yang sebenarnya tidak begitu penting, pikirku sebagai lelaki. Di sebelah lain mataku memperoleh informasi bahwa sedikit dari kami juga menikmati siang itu untuk sekedar tidur.

Aku senyum-senyum sendiri dan ada kedamaian ketika menatap tawa dan canda memenuhi kelas. Aku senang saja, merasa kelas kami dalam kondisi yang baik-baik saja, tidak ada masalah. 

Ada saat, Itta, teman laki-lakiku melintas di samping perempuan-perempuan melingkar itu. Satu di antara mereka tiba-tiba menawarkan tempat duduk. Itta sempat merasa tak perlu saja melakukan itu, tapi empat tangan yang menariknya duduk membiarkannya singgah sebentar. Aku menguping, dan kudengar beberapa pertanyaan dilontarkan secara bergilir oleh mereka ,si perempuan-perempuan melingkar. Beberapa pertanyaan dijawab polos dan frontal oleh Itta. Semua tahu, Itta memang sudah seperti itu, tak perlu malu mengatakan apa yang ada di dalam pikir. Sempat kudengar pertanyaan tentang bagaimana wanita pujaan Itta. Itta menjawabnya seperti yang pernah ia katakan padaku, Ia menyukai wanita yang fisiknya proporsiaonal, tidak begitu tinggi dan tidak begitu kurus. Dan yang paling penting, tidak bawel dan berenergik. Sepertinya Itta benar-benar serius mengatakan itu dulu. Aku tak begitu percaya saat itu. Soalnya, ia bercerita dengan tampang dan logat yang kurang meyakinkan, kukira ia hanya sekedar menghiburku kala itu. Yah, hari itu aku bercerita tantang kegalauanku, tentang seseorang yang kukagumi.

Lama ia disana. Seperti diinterogasi oleh polisi, sepertinya sikap polos dan kefrontalan Itta tertangguhkan, sudah tak tahan dengan banyak pertanyaan yang mengerucut kepada sang wanita idaman. Kulihat, beberapa kali ia memberi alasan untuk mengakhiri pembicaraan, tapi sepertinya ia tak lolos. Lama sekali, ia terus diinterogasi. Dan akhirnya, ia menemukan alasan untuk pergi. Kebelet pipis, katanya pembicaraan tadi membuatnya sedikit  terangsang. Perempuan-perempuan melingkar yang tadinya masih memiliki banyak pertanyaan untuk Itta, tiba-tiba saja urung dan berbalik niat. Itta di usir, tapi dengan gaya kami, ada sedikit kelucuan saat mengusirnya. Sekali lagi, gaya kami. Kami sudah terbiasa menyelesaikan segala sesuatu yang tidak disukai dengan sedikit bercandaan, seperti ejekan saja. Kami tak saling mengatai dengan wajah serius seperti yang ada di sinetron- sinetron, kemarahnnya sering kali didampingi mata yang melotot dan backsound nan menggertak. Kami lebih suka mewarnainya dengan beberapa tata-tawa kecil. Kami tak mau ada yang tersinggung, walaupun cara ini masih sering saja membuat beberapa diantara kami masih tersinggung. 

Kuperhatikan kembai di dalam ruangan. Rikhno dan beberapa teman masih sibuk dengan gitar dan suara-suara mulut mereka. Beberapa teman sudah terbangun dari tidurnya, mingkin suara gitar Rikhno tak begitu menyenyakkannya. Teman-teman yang tadinya menikmati pelataran sekolah, sepertinya belum masuk ke kelas kembali. Tak bisa kupastikan suasana di luar, mungkin saja mereka kini beralih ke kantin sekolah. 

Tiba-tiba saja, teman-teman perempuanku yang melingkar tadi menghampiriku. Tak kusadari, saat kutundukkan kepala beberapa menit, dan kurapatkan dahi ke lengan yang bersentuhan dengan permukaan meja. Andai aku tidak lengah, aku bisa sempat lari dari mereka. Tapi tidak lagi. Mereka kini mengerumuniku, tak ada jalan untuk keluar dari sana atau sekedar menghindar. Bukan lagi melingkar. Mereka kini mengambil posisi yang tak begitu jelas, memastikan aku tak akan kemana-mana.

Aku sudah tahu pasti apa yang akan mereka lakukan. Tadi sudah kusaksikan ketika Itta berada di posisiku.  Perempuan-perempuan ini adalah Ana, Dian, Mimi, Risma, dan Ayu. Kami masih kelas satu di salah satu SMA negeri di Kabupaten bulukumba. 

Sama dengan Itta, semua pertanyaan yang mereka lontarkan mengerucut pada wanita idamanku. Aku sedikit malu mengatakannya, aku cuma menyampaikan tentang keinginanku memiliki teman dekat yang tak jauh beda dari Itta. Bedanya, sedikit kutambahkan. Aku suka sosok teman dekat yang perhatian  dan sederhana dalam bersikap pun bergaul. Setelah pembicaraan itu, sepertinya ada yang menggugah batin ini untuk kehadiran teman dekat. Di perjalnan pulang, aku terus memikirkannya. Sepertinya pembicaraan tadi tak ada salahnya juga.

Tentang perempuan idaman, sebenarnya ia adalah Nuhrayani. Aku kagum saja dengan kesederhanaanya. Semua kriteria yang kusebutkan di atas, tidak bergeser satu derajat pun itu. Sebenarnya, sudah lama aku memperhatikannya. Kebetulan kami sering sama-sama, kami berada di kelas yang sama. Jarang aku berbincang atau sekedar dekat dengannya. Ada getaran yang membuatku kaku ketika berhadapan dengannya. Sering kami berpapasan dan sekedar “say hello”. Disaat begitu, begitu damai ketika melihatnya melampar senyum. Manis. Matanya mengundang kaki untuk berhenti sejenak, sekedar membiarkan mata itu lewat dengan jutaan cahaya kemurniannya yang memendar. Ah, aku terlalu larut dalam keindahannya. 

Ketahulah. Seperti yang  kusampaikan tadi, kami tak pernah berbicara lama. Bahkan namanya kutahu dari teman-teman  yang menyapanya. 

Ada saatnya, katika di kantin. Tak sengaja kami saling berhadapan di meja yang sama. Aku ketawa saja di dalam hati, dan ia tersenyum saja sembari mengucap,” Selamat makan, jangan terlalu banyak sambalnya. Nanti perutmu sakit di kelas”. Yah, itu kalimat panjang pertama yang disampaikannya langsung kepadaku. Sepertinya aku memerah saat itu. Kaki yang bergetar tak membuat bibir ini sanggup mengatakan hal-hal yang sselangit, aku mengiyakan saja denga senyum tipis. Itta yang tepat di sampingku saat itu menepuk pundakku, menertawai pembicaraan kami yang begitu singkatnya. Aku malu.

Selama ini, memang aku hanya mengenal cinta. Belum pernah kumiliki. Aku masih ingat saat-saat di SMP. Aku pernah suka dengan seorang teman perempuanku, ia tak sekelas denganku. Sama, ia sederhana. Dua tahun ku pendam rasa sukaku, tapi tak pernah kuutarakan. Hingga ia harus pindah ke luar Sulawesi, aku tak sempat menyampaikannya atau sekedar memberi isyarat. 

Lama aku memendamya hingga masih kumiliki rasa itu setelah kepergiannya. Hingga saat kudengar kabar setahun kemudian. Ia mengirimkan pesan singkat ke handphoneku, entah darimana ia memperoleh nomor GSMku. Katanya, dari tetangganya yang saudaraan dengan  Ibu. Sangat senang. 

Terbesik tanya pada diri. Kenapa ia harus menghubungiku? Apa dia tahu perasaanku selama ini? Untuk apa dia menghubungiku? Apakah ia ingin menjalin cinta denganku? Yah, setelah SMS pertamanya itu, aku banyak berpikir tentang bagaimana kami selanjutnya. 

Tak berselang lama,  sekitar lima menit kemuian, dia kembali mengabariku, “Waf, ke rumah yah minggu depan. Akan ada selamatan, loh. Semgigu lalu, aku melahirkan, anakku lucu-lucu loh, kembar lagi. Oke yah, datang. Aku tunggu loh. Jangan sampai ndak, yah Waf? Aku ada di kompleks sebelah loh, di rumah mertua."

Aku begitu shok mendengar kabar itu. Padahal baru sja ku save namaya di kontakku dengan nama “My Honey”. Sepertinya aku terlalu bermimpi. Tak lepas dari kondisiku yang masih labil, itu terdengar sedikit berlebihan dan alai. 

Semangat ku hilang seketika, begitu GR-nya diri ini. Harusnya tak cepat kusikapi itu dengan bahagia. Yah, undangan untuk datang ke akikahan anaknya. Itu sudah cukup mengisyaratkan kalau ia telah didampingi seorang suami, kini.

My Honey segera kuhapus dari kontak. Sms yang tadi tak ku tanggapi, segera kuhapus. Sore itu, kutenangkan diri dengan beberapa lagu galau yang ku putar langsung dari handphoneku. Pintu kamar kututup dalam kesendirian di dalam. Aku menggalau. So melankolisnya.

Aku tak mau sampai kejadian ini kutemui lagi dengan Nuhra.
Kemarin-kemarin aku tahu, Nuhra ada hubungan dengan kakak senior dari kelas IPS. Dan kudapati kabar, mereka putus. Harusnya aku begitu senang, tapi tidak. Penasaranlah aku dengan segala akar-akarnya. Kudengar, si senior itu menduakannya. Dan katanya, Nuhra tak bisa terima hingga akhirnya meminta putus. Sempat merah memuncak dalam mental, tapi pikir memaksa diri untuk tetap pada jalur. Aku bukan siapa-siapa, berbicara paling panjang pun itu baru sekali, pun itu satu kalimat. Terlebih lagi sasaranku adalah senior, belum tentu juga Nuhra akan menganggapku pahalawnnya. Mingkin saja dia malah berbalik memusuhiku jika melakukannya. Dan kuputuskan untuk tidak melakukan apa-apa. 

Hampir setiap hari aku selalu di dalam kelas saat jam isterahat. Bahkan, saat jam pelajaran kosong, tetap di kelas saja. Aku tak mau saja. Aku lebih suka di dalam kelas sembari menunggu nuhra untuk keluar kelas sekedar ke kantin. Sudah seminggu ini Nuhra tak pernah keluar ke kelas, kecuali bel pulang berbunyi. Itu pun dia adalah orang terakhir yang keluar dari kelas. Memang, dia berlaku demikian setelah ia memutuskan untuk sendiri tanpa si seniorku dari IPS itu lagi.

Sesekali kuminta teman wanita untuk menghibur dan mengajaknya ceria. Tak juga mempan. Aku semakin kasihan padanya. Ingin rasanya ada diri duduk di sebelahnya dan sekedar bercerita tentang langit uang selalu indah dengan birunya berkat mentari. Tapi itu bukanlah hal yang mudah, aku harus mempersiapkan diri hingga tak ada lagi getaran dalam bibir saat berucap dengannya. Yah, itu yang tersulit. Aku masih jul mahal dan tak mau salah tingkah di hadapan matya yang begitu sendu, aku juga hanya tak mau terlihat garing berada di hadapannya yang sedang bergalau ria.

Kusempatkan diri berbagi cerita ini dengan Itta dan beberapa teman yang lain. Rikhno bilang, sudah saatnya aku mengambil kesempatan ini. Ana, yang cerewet, menawarkan dirinya untuk jadi mak coblang. Tapi, langsung ku tolak. Aku kurang yakin dengannya. Dari semua yang ia comblangin selama ini, semuanya gatot alias “gagal total”. Dan banyak lagi saran yang kuterima dari yang lain, dan beberapa diantaranya memang benar. Itta mengatakan bahwa sudah saatnya kejantananku dibuktikan. Katanya, ini momen yang baik, aku harus menunjukkan bahwa aku benar-benar peduli padanya. 

Sampai saatnya, kuberanikan diri menghampirinya saat bel pulang berbunyi. Disana, hanya ada kami, aku dan dia. Jujur, kakiku sangat berat sekali melangkah, tapi syukurlah, aku tidak sampai pingsan untuk benar-benar sudah berada semeter darinya. Siang itu, sunyi sekali. Aku slincah ini, karna ia menundukkan dirinya, mungkin ia tidur atau mungkin menangis, aku tak tahu pasti.
“Nur, Nurhayani, sudah waktunya pulang nih.” Kusap ia dengan begitu terbata. Dia belum lagi urung dari posisinya. Terus kusapa ia, dan tak lama, ia berbangun. Aku meminta izin untuk duduk di sebelah bangkunya. Kuajak ia bercerita, dia sepertinya begitu sakit dengan kehilangannya. Ini pertama kali aku bercerita benar-benar pannjang dengannya. Aku tak merasa bangga dengan itu, kutahu ia dalam duka saat ini. Nuhra curhat.

Rasanya tak enak terlalu berlama di sini. Kami hanya berdua. Kuajak ia segera bernjak dari sini dan segera pulang. 

Setelah kejadian ini, kami semakin akrab. Bukan lagi diam-diaman, kami lebih sering bersama, bercerita panjang. Bukan lagi tentang galau, tapi tentang indahnya langit yang semakin jelas kebiruannya ketika tersinari matahari. Yah, saat ini aku sering-sering menyaksikan rupa cerianya. Sebenarnya aku masih sering grogi, kalau ada saat kudapati matanya sejajar dengan mataku. Langsung aku diam dan merasa damai. Ia sering mengagetkanku saat menyaksikannku tertegung seperti itu.



Sering-sering aku dan dia bersama. Hampir setiap hari mengahabiskan waktu isterahat berdua di kelas atau sekedar ke kantin. Belum kukatakan apa-apa tentang perasaan ku, aku hanya berharap dia akan segera tahu dari sikapku padanya. Aku sedikit membaca sikapnya, dan sepertinya aku tak salah memiliki perasaan kagum atau bahkan lebih.

Semenjak kami sering sama-sama, handphoneku  selalu sibuk berkoneksi dengan handphonenya. Memang, sudah lama kami bertukar nomor handphone, sejak pertama kali aku memberanikan diri duduk lebih lama di dekatnya, siang itu. 

Kalau jam belajar di sekolah sudah berakhir dan kami harus kembali ke rumah masing-masing, ada kegelisahan saja saat tak ada kabar darinya. Budaya melow pedekate anak sekolahan sepertinya menyebar virusnya ke dalam tubuhku. Sepulang sekolah, sering ku kirimkan pesan singkat dengan beberapa pertanyaan yang sebenarnya tidak begitu penting. Mulai dari sudahnya makan, tentang sholat, dan banyak lagi. Aku selalu saja mencari-cari topik yang mesti kubicarakan dengannya. Kalaupun tak begitu penting, ya mau diapakan lagi. Yang ada dalam pikir, bagaimana agar aku tetap dapat kabar darinya saja.

Tak sampai disitu. Hampir setiap malam kusisihkan waktu untuk sekedar telepon-teleponan dengannya. Biar sebenarnya, kami sering-sering ketemu di kelas. Bagiku, waktu begitu penting, dan mesti kuluangkan saja dengannya setelah tugas sekolah beres.
Lama sekali kami mengulang cerita yang sama setiap hari. Mulai dari berduaan di kelas atau di kantin. SMSan, bahkan telepon-teleponan juga. Dan saatnya kuberanikan diri menyatakan cinta padanya.
Benar. Masih ada getaran yang bersumber dari isi dadaku saat berniat menyampaikan semua isi hati. Tapi, kali ini harus kuberanikan diri. Aku tahu, belum ada kekuatan penuh untuk berdiri di depannya dan menyatakan ini. Mungkin kuawali saja melalui pesan singkat, selanjutnya bisa aku telepon. Dan terakhir, barulah kutemuinya. Yah, itu semua kulakukan. 

Dia kaget saja saat memperoleh pesan singkat dariku. Beberapa peryataan tidak begitu percaya ia lontarkan melalui pesan singkat. Mulai dari alasan kenapa aku suka sama dia, seberpa cinta padanya, dan kenapa mesti dia. Semua kujawab dengan sederhana. Dari awal, aku suka dengannya memang bukan tanpa alasan, dia begitu sederhana. Aku tidak bilang ia tidak cantik dan tidak manis. Dia cantik dan manis, tapi itu bukan ukuran bagiku. Mungkin itu alasannya. Tapi, ada banyak perempuan yang memiliki kriteria seperti itu. Yang kuberitahu padanya, tak ada alasan untuk mempersembahkan cintaku. Menurutku, lebih pantas ia tahu seperti itu. Jauh sebelum aku menemukan kesederhanaan darinya, atau bahkan kecantikan darinya, ada getaran yang menggerogoti tubuh kala berpapasan dengannya. Banyak perempuan sederhana dan cantik yang pernah berpapasan denganku, tapi tak ada saja getaran seperti dengannya, Nuhra. 

Setelah bertemu dengannya, dia memberi waktu seminggu untuk memberi jawaban yang pasti. Aku terima saja permintaannya itu. Yah, itu sudah biasa. Yang kutahu, memang sangat jarang kudengar kabar tentang peryataan cinta yang begitu langsung di terima oleh perempuan yang diidamkan. Aku tahu betul itu. Apalagi sudah budayanya perempuan. Merasa tak begitu ternilai ketika harus menerima cinta begitu saja. Sekilas budaya yang ada. 

Minggu berikutnya, kutagih janji. Aku bertemu langsung dengannya, berdua. Kali ini, aku berjalan berdua dengannya setelah jam sekolah selesai. Dia sedikit membuatku penasaran dari beberapa pernyataan yang berusaha mengecohkanku. Aku tak banyak tanya, keringat dingin meyelimuti badanku di tengah teriknya matahari. Aku berjalan saja dengan mencoba mengayun kaki lebih ringan. 

“Dik, bagaimana ? Sudah ada yang bisa kau ceritakan denganku?” , ucapanku begitu terbata.
“Tentang seminggu lalu, ya? Maaf. Aku belum bisa. Aku belum bisa tanpa kamu.” Senyum manisnya dia serahkan ke kedua mataku.  

Keringat dingin di badanku perlahan mengering. Aku mulai merasakan hangatnya matahari. Ada perasaan lega yang tersirat. Yes, benar-benar terjadi. Perempuan yang kuinginkan telah memberi jawab, dan ya. Ia membalas dengan rasa yang sama, mungkin. Ah, aku tak tahu seperti apa orang orang menyaksikan ekspresi kebahagiaanku saat itu. Sepanjang kunuansakan bahagia, Nuhra diam saja, dengan senyuman yang manis. Aku tahu itu adalah bahagia. Thanks, God!!!

Kami terus melanjutkan perjalanan pulang. Di jalan, kami melalui ratusan rumput yang menari-nari, seolah memberi jalan dan menjabah kami dengan beberapa oksigen tipis. Aku bahagia. Tak ada yang sia-sia, dan inilah yang kudapatkan.

Tapi, tau tidak? Tak begitu lama kami bertahan dalam kondisi ini. Waktu yang begitu singkat, hubungan kami bertahan hanya dua minggu. Alasannya, tak ada kecocokan. Yah, sudah familiar menjadi alasan perpisahan dalam romansa anak SMA. Aku menyadari itu. Tuntutan keseriusan pasti tak akan membuahkan ini.. Dari sini, aku sempat berpikir. Perempuan itu, akan terlihat begitu cantik ketika tak dimiliki. Iya, cantik yang kumaksud kecantikan fisik, plus kecantikan dari dalam. Biarlah tak kumiliki saja, asal tetap terlihat cantik. Hehe, sekedar kuhibur diri untuk meninggalkan kegalauan. Galau, sebenarnya tak begitu galau juga. Aku yakin, Tuhan sengaja membuat skenario ini dalam hidupku. Aku tak sekedar hidup untuk berada di sekitar Nuhra. 

Aku yakin, akan ada Nuhra yang lain yang akan kutemui, bahkan lebih. Hari ini, aku berusaha jadi orang baik saja karena Tuhan menjanjikan kebaikan kepada orang baik.

Aku yakin, Tuhan mempersiapkan setiap dari kita untuk menemukan cinta sejati. Yah, aku semakin yakin. Tuhan, aku akan tetap berusaha.

555

CATATAN: 
Perempuan. Sengaja penulis menggunakan kata 'perempuan'. Banyak pandangan tentang penggunaan kata 'perempuan'. Mulai dari pemaknaan untuk kedewasaan dan sebagainya. Tapi, dalam cerita ini, penulis memakai kata'perempuan' dengan memandangnya sebagai insan yang terhormat. Sebagaimanaa laki-laki, perempuan memiliki kehormatan. Adalah bentuk terimakasihku kepada perempuan yang pernah hinggap dalam segala jalan hidupku, perempuan-perempuan yang begitu terhormat bagiku. Teman, teman dekat, sahabat. Dan terkhusus kepada ibuku tercinta, St Nuraeni yang penuh kasih.