Tampilkan postingan dengan label NOTES. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NOTES. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Juli 2014

Sendiri?

(sumber)
Tak ada yang tahu bentuk kebaikan yang selalu dianugrahkanNya 
kepada sosok ciptaNya. 
Tapi kita yakin, 
akan selalu ada kesempatan untuk berbahagia, 
bagaimanapun kondisinya.
-----------------------------------------------------------------------
Sendiri. Hari ini aku sahur sendiri di dalam sebuah kamar. Kamar ini tak seperti yang ada di rumah-rumah yang setiap petak adalah ruang khusus, seperti ruang tamu, ruang keluarga ataukah dapur. Ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur tak punya sekat disini. Semuanya menyatu di dalam ruang yang tak begitu luas namun sudah lumayan untuk berteduh dan sekedar tempat pembaringan. Kamar kos. Iya, Aku bersahur sendiri disini, di hari kelima puasa ini.

Sudah biasa dan tak masalah amat. Tahun lalu aku juga melaluinya. Memang selalu ada perasaan kalut kalau sudah tiba saatnya sahur, tak ada kawan untuk sekedar berbincang. Orang tua, saudara, dan teman tiba-tiba menjadi bayangan abu-abu yang mengganjal leher dalam menelan.

Resiko. Bukan tanpa alasan sampai nuansa ini ada. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan, dan yah, seperti seperti yang kuceritakan tadi akhirnya.

Ada juga saat diri ini merasa tak perlu persoalkan masalah itu. Kupikir, ini adalah kemandirian kecil-kecilan. Toh, aku bukan lagi anak sekolahan yang masih mesti diurusi orang tua sana sini.

Aku sedikit menyesali pertemuan dengan beberapa teman kampus, kemarin. Erick, Pipi, Awal, Fadli, Dhan, juga Febi. Tak sengaja kedua mataku menangkap keberadaan mereka setelah aku keluar dari sebuah obyek wisata pantai di Kabupaten Bantaeng. Sudah kutahu kabar tentang rencana mereka ke Bira, obyek wisata pantai ternama yang ada di kawasan Kabupaten Bulukumba. Masalahnya, sudah kuputuskan untuk ke Makassar dan jelas aku dan mereka berlawanan arah. Situasi ini bikin aku sedikit iri. Refreshing ke suatu tempat yang indah adalah perjalanan yang penuh kesan, aku sangat tak ingin melewatkannya, apalagi bersama beberapa teman. Andai tak ada pertemuan saja, rasa iri ini pasti akan sedikit meredup. 

Sepanjang hari ini, diluar persoalan sahur tadi dan pertemuan dengan beberapa teman -di perjalanan ke Makassar-, banyak hal yang begitu menarik. Kejenuhanku untuk menetap di kamar kos pagi ini kulampiaskan dengan mencoba mencari beberapa suasana menghibur di luar sana.

Tujuan awaluku di anjungan Pantai Losari. Biasanya, disana sering ada even menarik di hari libur. Mungkin saja, di bulan Ramadhan ada hal yang menarik disana. Setelah disana, aku sedikit kecewa, suasana anjungan begitu sunyi. Hampir tak ada pengunjung. Masih terbilang pagi memang, jam 12.30 siang. Hmmm, momen ini kumanfaatkan saja untuk berkeliling sendirian di sekitar anjungan. Kesunyian ternyata memperlihatkan pesona anjungan Pantai Losari. Sayatan halus angin mammiri memberi kesejukan tersendiri pada tubuh ini yang sedari tadi menahan rasa panas yang disampaikan maatahari. Ada perasaan lega saja di hari puasa ini. Sejenak aku menyempatkan duduk di antara balok huruf dan menghadap ke laut, mataku menggeliat 180 derajat. Tak ada sudut yang kusisakan, aku begitu menikmati segala corak yang ditangkap oleh mataku, kesemuanya membuatku takjub. Masjid apung dengan kubah biru bermotif simetris, kuperhatikan disana beberapa orang yang berlalu lalang. Mesjid ini menjadi sudut yang tersibuk dibandingkan sudut lain yang sempat tertangkap oleh kedua mataku. Belum lagi pemandangan laut dihadapanku yang begitu serasinya dengan langit cerah yang ada, indah. Di tengah laut, nampak pulau yang di sisi kiri dan kanannya disibuki oleh truk dan pekerja yang lalu lalang, dua jembatan sedang dibangun. Sisi kiri kelihatannya sudah benar-benar menghubungkan daratan tempatku duduk dengan pulau yang terlihat, tak jauh di seberang laut. Ada keinginan untuk menyapa langit di daratan pulau itu. Mungkin nanti, kalu sudah jadi.

Beberapa patung yang menggambarkan keragaman etnis yang ada di Sulawesi Selatan. Rumah tonkonan dari Toraja, ada juga kerbau putih yang konon sangat bernilai bagi suku Toraja. Perahu pinisi dari Bulukumba, dan banyak lagi. Yang paling menarik, patung perahu pinisi. Aku langsung ingat saja tanah kelahiranku, Bulukumba. Kudengar dari cerita-cerita pendahulu, perahu pinisi pernah membentangkan layarnya ke seluruh penjuru dunia. Tak heran jika banyak bangsa asing yang begitu kenal dengan keberadaan perahu pinisi yang sampai hari ini, perahu pinisi masih tetap memperlihatkan eksistensinya.

Berjalan-jalan di sekitar anjungan benar benar memanjakan mata. Ah, tak perlu ada even disini untuk merasakan hiburan. Ini sudah jauh lebih menyenangkan. Sebentuk stand-board berdiri tegap membelakangi pemandangan pantai, sembari ada spanduk yang melekat bersamanya. Kuperhatikan, ada sosok tokoh yang tergambar di dalam rankaian  spanduk itu. Kelihatannya asing. Kubaca saja beberapa baris kata yang ada di dalamnya. Ternyata, ada pameran tunggal kaligrafi yang digelar oleh Abdul Aziz Ahmad. Aku tak mengenalnya. Lokasi pamerannya, tak jauh dari spanduk itu berdiri tegap, sekitar lima meteran saja. Sepertinya rugi kalau sampai kulewatkan begitu saja. Aku langsung masuk ke dalam.

Setelah mengisi beberapa kolom di buku tamu, saatnya berkeliling. Awalnya, aku sedikit penasaran. kaligrafi apa saja yang mungkin akan terpampang. Setelah di dalam dan melihatnya langsung, wow! Karya-karya yang gokil. Tak seperti kligrafi yang kutemui sebelumnya, ini sedikit berbeda, tidak monoton. Jadi tidak bosan setiap peralihan mata dari kaligrafi ke kaligrafi yang lain. Tak kuhitung berapa banyak itu, tapi kalau diperkirakan, mungkin ada puluhan. Tak hanya kaligrafi dengan aksara arab, ada juga yang mrnggunakan aksara lontara, dan beberapa dikolaborasikan dengan kata-kata indah dalam tulisan dan bahasa Indonesia -beberapa petuah Bugis-Makassar yang diterjemahkan-. Dalam kaligrafi, yang kulihat hanya warna hitam dan putih saja. Keunikan dari kaligrafi ini, di setiap kaligrafi, pasti ada beberapa gambar hewannya juga. Disandingkan dengan kaligrafi dengan begitu apik dan harmonisnya. Masih kurang kumengerti apa maksud pelukis dengan hal tersebut, tapi kupikir ada pesan tersendiri yang berusaha disampaikan pelukis kepada mata-mata yang sempat menyaksikan. Sayangnya, disaat kunjunganku itu, tak ada seorang pun yang kutemui di sepanjang perkelilinganku. Wajar-wajar saja. Siapa tahu, sore nanti akan ramai disini. Akan banyak orang yang ngabuburit di sekitar pantai. Barangkali.

Dua jam lebih kuhabiskan berkeliling. Sudah jam dua siang lewat beberapa menit. Dan ah, badan terasa kurang tahan melawan hawa panas di sekitar pantai. Kesejukan angin tadi ternyata hanya sesaat. Mungkin  ini juga akibat aku yang kelelahan berjalan sana-sini. Kukira, aku snggup bertahan disini hingga waktu berbuka tiba, dan berbuka di sini. Tapi, ternyata tidak. Mata ini sudah menggoda badan untuk mencari sebarang lahan pembaringan atau dekedar tempat teduh dan bisa berbaring di bawahnya. Ada sih, tapi ini tempat umum. Sudah, pulang saja. Setidaknya, sudah kunikmati siang ini dengan beberapa pemanja mata. Kalau saja aku kesini bersama beberapa orang, pasti akan lebih menarik. Aku berharap saja akan ada suasana seperti ini di hari yang lain, akan kuajak beberapa teman kesini. Mudah-mudahan. Hmmm, aku langsung saja teringat kucing kesayanganku.

Sepotong perjalanku hari ini. Kupikir, tak perlu menyesali diri ketika mendapati diri telah memiliki keputusan. Yakin, akan ada hal unik dan menarik yang ditemui di setiap pilihan. Aku yang harus bersahur sendiri di kamar kos -meninggalkan saat-saat bersama keluarga- dan tak sempat bergabung dengan yang lain -ke Pantai Bira-, ternyata masih memiliki kesmpatan untuk menghibur diri, walaupun sendiri. Tuhan selalu adil dengan caraNya sendiri. Tak ada yang tahu bentuk kebaikan yang selalu dianugrahkanNya kepada sosok ciptaNya. Tapi kita yakin, akan selalu ada kesempatan untuk berbahagia, bagaimanapun kondisinya.

555

Merry Riana, Benar-benar Motivator

Merry Riana. Pernah dengar? Pernah sekedar membaca di beberapa media massa atau di beberapa  buku? Ya, aku kenal sosoknya melalui sebuah buku motivasi yang sempat menarik mataku ke salah satu rak mungil di salah satu toko buku. Semakin lama, semakin ku kenal sosoknya dari cerita-cerita mulut yang ramah, hingga kutelusuri sendiri melalui berbagai media informasi. Ternyata, ia bukanlah motivator instan yang begitu saja hadir di depan publik. Perjalanan hidup membuatnya tidak sungkan untuk berbagi sukses dengan sesama. Gambaran hidupnya tertuang jelas dalam buku biografi  tentang dirinya yang lebih suka kusebut saja itu novel.

Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar. True Story. Sebuah novel dengan cerita yang begitu apik dengan kerja keras dan semangat. Ditulis oleh Alberhiene Endah. Sebuah kisah perjuangan yang sangat menggugah, dari mahasiswi berkantong pas-pasan hingga bisa meraih penghasilan satu juta dollar di usia 26 tahun. Suatu yang tidak mudah dan penuh tantangan hingga berakhir pada sebuah prestasi. Kerja keras dan semangat, bukanlah perkara utama. Keuletan, keimanan, ketabahan dan pesan-pesan orang-orang terkasih terkadang begitu berarti dalam rangkaian mendapati diri yang sesungguhnya ketika takdir dihadangkan dengan kondisi keuangan orangtua memburuk akibat krisis moneter, dan melanjutkan kuliah di negeri orang dengan modal pinjaman di bank dan biaya hidup yang jauh dari seadanya. Merry Riana menghadirkan sosok ibu yang begitu filosofis sebagai salah satu panutan hidup. 

Belum lagi tentang prahara lain yang melatarbelakangi hingga ia memilih lanjut di Singapura. Alva, suaminya kelak, menjadi pemberi batu loncatan bagi Merry dalam setiap mengawali semangatnya. 

Tak mudah menjadi Merry Riana. Merry Riana adalah saksi sekaligus pelaku hidup, bahwa setiap manusia yang hadir dalam masa-masa sulit akan selalu menemukan berkah dari Tuhan ketika tak pernah tersuarakan malas dalam raganya. Dan, jangan lupa kepada Tuhan. Berbagai lakon dijalani Merry. Tak apa ia mulai dari seorang pembagi brosur yang tak begitu menggiurkan, hingga ke lini lain yang serupa. Bagi Merry, ada pembelajaran besar yang ia temukan dari setiap waktu yang dilaluinya, dalam setiap lakon yang dijalaninya. Kesuksesan meraih satu juta dollar di usia belia, bukanlah prestasinya semata. Ada banyak orang-orang di sekitarnya yang membawanya larut dalam kemenangan. 

Selembar demi selembar, ceritanya selalu memberi hikmah dan semangat. Terkadang, rasa pesimisku berbalik terlimpahkan semangat untuk optimis ketika kudapati perjuangan hidup yang sedikit mirip denganku. Tak banyak, tapi luar biasa saja. Aku bisa menemukan sebuah titik yang tak sempat terbayangkan sebelumya. Dan logikaku kemudian membenarkannya.

Tak begitu banyak yang kusampaikan tentangnya. Masih banyak perjuangan hidup dan cerita-cerita manis yang rasanya begitu berharga untuk Merry, dan begitu menarik untuk dimaknai, bahkan pantas diteladani.

Merry Riana, agak canggung kusebut namanya demikian. Kak Merry, dari tumpukan cerita yang ia jadikan jejak hidup, membuatku merasa cukup untuk benar-benar percaya bahwa ia pantas menjadi seorang motivator.

555
 Sumber gambar: http://www.google.com

Senin, 30 Juni 2014

HARI PERTAMA: Bersama Cinta




 Saat kata menjelma menjadi resah, 
Apakah kita benar-benar sama-sama menunggu? Ataukah...,
Hanya pembenaran pada diri 
yang terlalu akrab dengan gejala cinta
Entahlah. 
-----------------------------------------------------------------------
Kudapati kabar, guru Kewarganegaraan, Pak Rahman, tidak bisa masuk di kelas. Anaknya tiba-tiba demam tinggi. Aku jelas tahu itu. Ya, karena aku adalah ketua kelas. Seperti biasa, info itu kudapat setelah kucek kehadiran Pak Rahman di ruang guru. 

Sebagian dari kami tampak lesu *di kelas*. Tak ada lagi mata pelajaran hingga jam belajar berakhir. Seperti biasa, kalau sudah begini, bukan cuma pemandangan muka lesu dalam penantian pulang saja yang nampak. Ada juga beberapa pasang muka kegirangan, berpikir bahwa ada waktu yang cukup untuk sekedar berbagi cerita dengan yang lain, selagi menghilangkan sterss, karena baru saja pelajaran matematika berakhir.

Beberapa kaki-kaki melangkah ke kantin beriringan pembicaraan tentang makanan yang akan mulut-mulut santap bersama. Ada yang sekedar menghabiskan waktu untuk memandangi indahnya pelataran sekolah di depan pintu kelas. Di dalam kelas, tersisa beberapa orang. Ada aku dan beberapa teman. Di sudut belakang, kuperhatikan begitu riangnya menyanyikan lagu-lagu yang lagi tren, diiringi gitar. Ya, begitu ributnya. Kebetulan kelas sebelah juga tak ada guru. Sebenarnya, tak semudah itu memainkan gitar di dalam kelas. Rikhno, si pemilik gitar butuh sedikit perjuangan untuk menenggerkan gitar di dalam kelas. Pagi-pagi sekali Rikhno mesti ke sekolah. Motor ia parkir di rumah teman yang tak begitu jauh dari sekolah, dan lewat pagar belakang sekolah satu-satunya jalan yang pas buat meloloskan gitar. 

Kenapa seperti itu? Ini sebenarnya berawal dari kejadian dua minggu lalu. Salah satu seniorku mesti menelan ludah dengan pahitnya ketika gitar kesayangannya beradu tangkas dengan tembok, hancur. Pak Allim mengadunya dengan tembok tanpa ampun. Si senior memang salah. Di kelas sebelah belajar agama, sementara di kelasnya dia begitu asyik menggugah irama dengan pertemuan jejari tangan dan senar gitarnya. Katanya, seniorku itu sempat menangis, dan herannya lagi semenjak ku tahu dia adalah lelaki. Setelah kejadian itu, tak ada alasan lagi membawa gitar ke sekolah, kecuali atas rekomendasi guru seni. Pak Alim adalah kepalah sekolah di sekolah kami, dan tindakannya memang sudah wajar. Semua siswa di sekolah memang sudah tau, Pak Alim adalah sosok yang bijak dan disiplin, kadang ia temperamen ketika mendapati hal-hal yang menurutnya melanggar.

Di kelas, Rikhno dan beberapa teman terus melanjutkan lagunya. Aku juga merasa tenang, karena suaranya memang merdu. Apalagi kalau ada Dian seperti biasanya, pasti kolaborasinya lebih mendamaikan hati mendengarnya. Sesekali kutegur jika suaranya kelewatan besar, dan mereka paham. Aku bergabung sebentar, kuminta Rikhno memainkan gitarnya untuk mengiringi lagi yang kuminta. Di ekskul, kami memang terbiasa sama-sama dalam aktivitas ini, sambil menanti aktivitas mulai. Karena aku lebih memilih devisi teater.

Masih di kelas, di sisi yang lain, mataku tertuju pada beberapa teman perempuan membentuk melingkar, mereka sepertinya membicarakan beberapa hal. Apa ya? Kulihat, sepertinya seru. Terlihat dari raut wajah beberapa di antar mereka yang sesekali saling melempar senyum dan tawa. Kusebut itu gosip. 

Diantara semua kumpulan yang mendadak terbentuk di kelas siang itu, perempuan-perempuan melingkar ini memang tergolong paling ramai. Aku semakin penasaran, padahal ini harusnya wajar saja ketika melihat beberapa perempuan sekedr berkumpul untuk membicarakan beberapa hal yang sebenarnya tidak begitu penting, pikirku sebagai lelaki. Di sebelah lain mataku memperoleh informasi bahwa sedikit dari kami juga menikmati siang itu untuk sekedar tidur.

Aku senyum-senyum sendiri dan ada kedamaian ketika menatap tawa dan canda memenuhi kelas. Aku senang saja, merasa kelas kami dalam kondisi yang baik-baik saja, tidak ada masalah. 

Ada saat, Itta, teman laki-lakiku melintas di samping perempuan-perempuan melingkar itu. Satu di antara mereka tiba-tiba menawarkan tempat duduk. Itta sempat merasa tak perlu saja melakukan itu, tapi empat tangan yang menariknya duduk membiarkannya singgah sebentar. Aku menguping, dan kudengar beberapa pertanyaan dilontarkan secara bergilir oleh mereka ,si perempuan-perempuan melingkar. Beberapa pertanyaan dijawab polos dan frontal oleh Itta. Semua tahu, Itta memang sudah seperti itu, tak perlu malu mengatakan apa yang ada di dalam pikir. Sempat kudengar pertanyaan tentang bagaimana wanita pujaan Itta. Itta menjawabnya seperti yang pernah ia katakan padaku, Ia menyukai wanita yang fisiknya proporsiaonal, tidak begitu tinggi dan tidak begitu kurus. Dan yang paling penting, tidak bawel dan berenergik. Sepertinya Itta benar-benar serius mengatakan itu dulu. Aku tak begitu percaya saat itu. Soalnya, ia bercerita dengan tampang dan logat yang kurang meyakinkan, kukira ia hanya sekedar menghiburku kala itu. Yah, hari itu aku bercerita tantang kegalauanku, tentang seseorang yang kukagumi.

Lama ia disana. Seperti diinterogasi oleh polisi, sepertinya sikap polos dan kefrontalan Itta tertangguhkan, sudah tak tahan dengan banyak pertanyaan yang mengerucut kepada sang wanita idaman. Kulihat, beberapa kali ia memberi alasan untuk mengakhiri pembicaraan, tapi sepertinya ia tak lolos. Lama sekali, ia terus diinterogasi. Dan akhirnya, ia menemukan alasan untuk pergi. Kebelet pipis, katanya pembicaraan tadi membuatnya sedikit  terangsang. Perempuan-perempuan melingkar yang tadinya masih memiliki banyak pertanyaan untuk Itta, tiba-tiba saja urung dan berbalik niat. Itta di usir, tapi dengan gaya kami, ada sedikit kelucuan saat mengusirnya. Sekali lagi, gaya kami. Kami sudah terbiasa menyelesaikan segala sesuatu yang tidak disukai dengan sedikit bercandaan, seperti ejekan saja. Kami tak saling mengatai dengan wajah serius seperti yang ada di sinetron- sinetron, kemarahnnya sering kali didampingi mata yang melotot dan backsound nan menggertak. Kami lebih suka mewarnainya dengan beberapa tata-tawa kecil. Kami tak mau ada yang tersinggung, walaupun cara ini masih sering saja membuat beberapa diantara kami masih tersinggung. 

Kuperhatikan kembai di dalam ruangan. Rikhno dan beberapa teman masih sibuk dengan gitar dan suara-suara mulut mereka. Beberapa teman sudah terbangun dari tidurnya, mingkin suara gitar Rikhno tak begitu menyenyakkannya. Teman-teman yang tadinya menikmati pelataran sekolah, sepertinya belum masuk ke kelas kembali. Tak bisa kupastikan suasana di luar, mungkin saja mereka kini beralih ke kantin sekolah. 

Tiba-tiba saja, teman-teman perempuanku yang melingkar tadi menghampiriku. Tak kusadari, saat kutundukkan kepala beberapa menit, dan kurapatkan dahi ke lengan yang bersentuhan dengan permukaan meja. Andai aku tidak lengah, aku bisa sempat lari dari mereka. Tapi tidak lagi. Mereka kini mengerumuniku, tak ada jalan untuk keluar dari sana atau sekedar menghindar. Bukan lagi melingkar. Mereka kini mengambil posisi yang tak begitu jelas, memastikan aku tak akan kemana-mana.

Aku sudah tahu pasti apa yang akan mereka lakukan. Tadi sudah kusaksikan ketika Itta berada di posisiku.  Perempuan-perempuan ini adalah Ana, Dian, Mimi, Risma, dan Ayu. Kami masih kelas satu di salah satu SMA negeri di Kabupaten bulukumba. 

Sama dengan Itta, semua pertanyaan yang mereka lontarkan mengerucut pada wanita idamanku. Aku sedikit malu mengatakannya, aku cuma menyampaikan tentang keinginanku memiliki teman dekat yang tak jauh beda dari Itta. Bedanya, sedikit kutambahkan. Aku suka sosok teman dekat yang perhatian  dan sederhana dalam bersikap pun bergaul. Setelah pembicaraan itu, sepertinya ada yang menggugah batin ini untuk kehadiran teman dekat. Di perjalnan pulang, aku terus memikirkannya. Sepertinya pembicaraan tadi tak ada salahnya juga.

Tentang perempuan idaman, sebenarnya ia adalah Nuhrayani. Aku kagum saja dengan kesederhanaanya. Semua kriteria yang kusebutkan di atas, tidak bergeser satu derajat pun itu. Sebenarnya, sudah lama aku memperhatikannya. Kebetulan kami sering sama-sama, kami berada di kelas yang sama. Jarang aku berbincang atau sekedar dekat dengannya. Ada getaran yang membuatku kaku ketika berhadapan dengannya. Sering kami berpapasan dan sekedar “say hello”. Disaat begitu, begitu damai ketika melihatnya melampar senyum. Manis. Matanya mengundang kaki untuk berhenti sejenak, sekedar membiarkan mata itu lewat dengan jutaan cahaya kemurniannya yang memendar. Ah, aku terlalu larut dalam keindahannya. 

Ketahulah. Seperti yang  kusampaikan tadi, kami tak pernah berbicara lama. Bahkan namanya kutahu dari teman-teman  yang menyapanya. 

Ada saatnya, katika di kantin. Tak sengaja kami saling berhadapan di meja yang sama. Aku ketawa saja di dalam hati, dan ia tersenyum saja sembari mengucap,” Selamat makan, jangan terlalu banyak sambalnya. Nanti perutmu sakit di kelas”. Yah, itu kalimat panjang pertama yang disampaikannya langsung kepadaku. Sepertinya aku memerah saat itu. Kaki yang bergetar tak membuat bibir ini sanggup mengatakan hal-hal yang sselangit, aku mengiyakan saja denga senyum tipis. Itta yang tepat di sampingku saat itu menepuk pundakku, menertawai pembicaraan kami yang begitu singkatnya. Aku malu.

Selama ini, memang aku hanya mengenal cinta. Belum pernah kumiliki. Aku masih ingat saat-saat di SMP. Aku pernah suka dengan seorang teman perempuanku, ia tak sekelas denganku. Sama, ia sederhana. Dua tahun ku pendam rasa sukaku, tapi tak pernah kuutarakan. Hingga ia harus pindah ke luar Sulawesi, aku tak sempat menyampaikannya atau sekedar memberi isyarat. 

Lama aku memendamya hingga masih kumiliki rasa itu setelah kepergiannya. Hingga saat kudengar kabar setahun kemudian. Ia mengirimkan pesan singkat ke handphoneku, entah darimana ia memperoleh nomor GSMku. Katanya, dari tetangganya yang saudaraan dengan  Ibu. Sangat senang. 

Terbesik tanya pada diri. Kenapa ia harus menghubungiku? Apa dia tahu perasaanku selama ini? Untuk apa dia menghubungiku? Apakah ia ingin menjalin cinta denganku? Yah, setelah SMS pertamanya itu, aku banyak berpikir tentang bagaimana kami selanjutnya. 

Tak berselang lama,  sekitar lima menit kemuian, dia kembali mengabariku, “Waf, ke rumah yah minggu depan. Akan ada selamatan, loh. Semgigu lalu, aku melahirkan, anakku lucu-lucu loh, kembar lagi. Oke yah, datang. Aku tunggu loh. Jangan sampai ndak, yah Waf? Aku ada di kompleks sebelah loh, di rumah mertua."

Aku begitu shok mendengar kabar itu. Padahal baru sja ku save namaya di kontakku dengan nama “My Honey”. Sepertinya aku terlalu bermimpi. Tak lepas dari kondisiku yang masih labil, itu terdengar sedikit berlebihan dan alai. 

Semangat ku hilang seketika, begitu GR-nya diri ini. Harusnya tak cepat kusikapi itu dengan bahagia. Yah, undangan untuk datang ke akikahan anaknya. Itu sudah cukup mengisyaratkan kalau ia telah didampingi seorang suami, kini.

My Honey segera kuhapus dari kontak. Sms yang tadi tak ku tanggapi, segera kuhapus. Sore itu, kutenangkan diri dengan beberapa lagu galau yang ku putar langsung dari handphoneku. Pintu kamar kututup dalam kesendirian di dalam. Aku menggalau. So melankolisnya.

Aku tak mau sampai kejadian ini kutemui lagi dengan Nuhra.
Kemarin-kemarin aku tahu, Nuhra ada hubungan dengan kakak senior dari kelas IPS. Dan kudapati kabar, mereka putus. Harusnya aku begitu senang, tapi tidak. Penasaranlah aku dengan segala akar-akarnya. Kudengar, si senior itu menduakannya. Dan katanya, Nuhra tak bisa terima hingga akhirnya meminta putus. Sempat merah memuncak dalam mental, tapi pikir memaksa diri untuk tetap pada jalur. Aku bukan siapa-siapa, berbicara paling panjang pun itu baru sekali, pun itu satu kalimat. Terlebih lagi sasaranku adalah senior, belum tentu juga Nuhra akan menganggapku pahalawnnya. Mingkin saja dia malah berbalik memusuhiku jika melakukannya. Dan kuputuskan untuk tidak melakukan apa-apa. 

Hampir setiap hari aku selalu di dalam kelas saat jam isterahat. Bahkan, saat jam pelajaran kosong, tetap di kelas saja. Aku tak mau saja. Aku lebih suka di dalam kelas sembari menunggu nuhra untuk keluar kelas sekedar ke kantin. Sudah seminggu ini Nuhra tak pernah keluar ke kelas, kecuali bel pulang berbunyi. Itu pun dia adalah orang terakhir yang keluar dari kelas. Memang, dia berlaku demikian setelah ia memutuskan untuk sendiri tanpa si seniorku dari IPS itu lagi.

Sesekali kuminta teman wanita untuk menghibur dan mengajaknya ceria. Tak juga mempan. Aku semakin kasihan padanya. Ingin rasanya ada diri duduk di sebelahnya dan sekedar bercerita tentang langit uang selalu indah dengan birunya berkat mentari. Tapi itu bukanlah hal yang mudah, aku harus mempersiapkan diri hingga tak ada lagi getaran dalam bibir saat berucap dengannya. Yah, itu yang tersulit. Aku masih jul mahal dan tak mau salah tingkah di hadapan matya yang begitu sendu, aku juga hanya tak mau terlihat garing berada di hadapannya yang sedang bergalau ria.

Kusempatkan diri berbagi cerita ini dengan Itta dan beberapa teman yang lain. Rikhno bilang, sudah saatnya aku mengambil kesempatan ini. Ana, yang cerewet, menawarkan dirinya untuk jadi mak coblang. Tapi, langsung ku tolak. Aku kurang yakin dengannya. Dari semua yang ia comblangin selama ini, semuanya gatot alias “gagal total”. Dan banyak lagi saran yang kuterima dari yang lain, dan beberapa diantaranya memang benar. Itta mengatakan bahwa sudah saatnya kejantananku dibuktikan. Katanya, ini momen yang baik, aku harus menunjukkan bahwa aku benar-benar peduli padanya. 

Sampai saatnya, kuberanikan diri menghampirinya saat bel pulang berbunyi. Disana, hanya ada kami, aku dan dia. Jujur, kakiku sangat berat sekali melangkah, tapi syukurlah, aku tidak sampai pingsan untuk benar-benar sudah berada semeter darinya. Siang itu, sunyi sekali. Aku slincah ini, karna ia menundukkan dirinya, mungkin ia tidur atau mungkin menangis, aku tak tahu pasti.
“Nur, Nurhayani, sudah waktunya pulang nih.” Kusap ia dengan begitu terbata. Dia belum lagi urung dari posisinya. Terus kusapa ia, dan tak lama, ia berbangun. Aku meminta izin untuk duduk di sebelah bangkunya. Kuajak ia bercerita, dia sepertinya begitu sakit dengan kehilangannya. Ini pertama kali aku bercerita benar-benar pannjang dengannya. Aku tak merasa bangga dengan itu, kutahu ia dalam duka saat ini. Nuhra curhat.

Rasanya tak enak terlalu berlama di sini. Kami hanya berdua. Kuajak ia segera bernjak dari sini dan segera pulang. 

Setelah kejadian ini, kami semakin akrab. Bukan lagi diam-diaman, kami lebih sering bersama, bercerita panjang. Bukan lagi tentang galau, tapi tentang indahnya langit yang semakin jelas kebiruannya ketika tersinari matahari. Yah, saat ini aku sering-sering menyaksikan rupa cerianya. Sebenarnya aku masih sering grogi, kalau ada saat kudapati matanya sejajar dengan mataku. Langsung aku diam dan merasa damai. Ia sering mengagetkanku saat menyaksikannku tertegung seperti itu.



Sering-sering aku dan dia bersama. Hampir setiap hari mengahabiskan waktu isterahat berdua di kelas atau sekedar ke kantin. Belum kukatakan apa-apa tentang perasaan ku, aku hanya berharap dia akan segera tahu dari sikapku padanya. Aku sedikit membaca sikapnya, dan sepertinya aku tak salah memiliki perasaan kagum atau bahkan lebih.

Semenjak kami sering sama-sama, handphoneku  selalu sibuk berkoneksi dengan handphonenya. Memang, sudah lama kami bertukar nomor handphone, sejak pertama kali aku memberanikan diri duduk lebih lama di dekatnya, siang itu. 

Kalau jam belajar di sekolah sudah berakhir dan kami harus kembali ke rumah masing-masing, ada kegelisahan saja saat tak ada kabar darinya. Budaya melow pedekate anak sekolahan sepertinya menyebar virusnya ke dalam tubuhku. Sepulang sekolah, sering ku kirimkan pesan singkat dengan beberapa pertanyaan yang sebenarnya tidak begitu penting. Mulai dari sudahnya makan, tentang sholat, dan banyak lagi. Aku selalu saja mencari-cari topik yang mesti kubicarakan dengannya. Kalaupun tak begitu penting, ya mau diapakan lagi. Yang ada dalam pikir, bagaimana agar aku tetap dapat kabar darinya saja.

Tak sampai disitu. Hampir setiap malam kusisihkan waktu untuk sekedar telepon-teleponan dengannya. Biar sebenarnya, kami sering-sering ketemu di kelas. Bagiku, waktu begitu penting, dan mesti kuluangkan saja dengannya setelah tugas sekolah beres.
Lama sekali kami mengulang cerita yang sama setiap hari. Mulai dari berduaan di kelas atau di kantin. SMSan, bahkan telepon-teleponan juga. Dan saatnya kuberanikan diri menyatakan cinta padanya.
Benar. Masih ada getaran yang bersumber dari isi dadaku saat berniat menyampaikan semua isi hati. Tapi, kali ini harus kuberanikan diri. Aku tahu, belum ada kekuatan penuh untuk berdiri di depannya dan menyatakan ini. Mungkin kuawali saja melalui pesan singkat, selanjutnya bisa aku telepon. Dan terakhir, barulah kutemuinya. Yah, itu semua kulakukan. 

Dia kaget saja saat memperoleh pesan singkat dariku. Beberapa peryataan tidak begitu percaya ia lontarkan melalui pesan singkat. Mulai dari alasan kenapa aku suka sama dia, seberpa cinta padanya, dan kenapa mesti dia. Semua kujawab dengan sederhana. Dari awal, aku suka dengannya memang bukan tanpa alasan, dia begitu sederhana. Aku tidak bilang ia tidak cantik dan tidak manis. Dia cantik dan manis, tapi itu bukan ukuran bagiku. Mungkin itu alasannya. Tapi, ada banyak perempuan yang memiliki kriteria seperti itu. Yang kuberitahu padanya, tak ada alasan untuk mempersembahkan cintaku. Menurutku, lebih pantas ia tahu seperti itu. Jauh sebelum aku menemukan kesederhanaan darinya, atau bahkan kecantikan darinya, ada getaran yang menggerogoti tubuh kala berpapasan dengannya. Banyak perempuan sederhana dan cantik yang pernah berpapasan denganku, tapi tak ada saja getaran seperti dengannya, Nuhra. 

Setelah bertemu dengannya, dia memberi waktu seminggu untuk memberi jawaban yang pasti. Aku terima saja permintaannya itu. Yah, itu sudah biasa. Yang kutahu, memang sangat jarang kudengar kabar tentang peryataan cinta yang begitu langsung di terima oleh perempuan yang diidamkan. Aku tahu betul itu. Apalagi sudah budayanya perempuan. Merasa tak begitu ternilai ketika harus menerima cinta begitu saja. Sekilas budaya yang ada. 

Minggu berikutnya, kutagih janji. Aku bertemu langsung dengannya, berdua. Kali ini, aku berjalan berdua dengannya setelah jam sekolah selesai. Dia sedikit membuatku penasaran dari beberapa pernyataan yang berusaha mengecohkanku. Aku tak banyak tanya, keringat dingin meyelimuti badanku di tengah teriknya matahari. Aku berjalan saja dengan mencoba mengayun kaki lebih ringan. 

“Dik, bagaimana ? Sudah ada yang bisa kau ceritakan denganku?” , ucapanku begitu terbata.
“Tentang seminggu lalu, ya? Maaf. Aku belum bisa. Aku belum bisa tanpa kamu.” Senyum manisnya dia serahkan ke kedua mataku.  

Keringat dingin di badanku perlahan mengering. Aku mulai merasakan hangatnya matahari. Ada perasaan lega yang tersirat. Yes, benar-benar terjadi. Perempuan yang kuinginkan telah memberi jawab, dan ya. Ia membalas dengan rasa yang sama, mungkin. Ah, aku tak tahu seperti apa orang orang menyaksikan ekspresi kebahagiaanku saat itu. Sepanjang kunuansakan bahagia, Nuhra diam saja, dengan senyuman yang manis. Aku tahu itu adalah bahagia. Thanks, God!!!

Kami terus melanjutkan perjalanan pulang. Di jalan, kami melalui ratusan rumput yang menari-nari, seolah memberi jalan dan menjabah kami dengan beberapa oksigen tipis. Aku bahagia. Tak ada yang sia-sia, dan inilah yang kudapatkan.

Tapi, tau tidak? Tak begitu lama kami bertahan dalam kondisi ini. Waktu yang begitu singkat, hubungan kami bertahan hanya dua minggu. Alasannya, tak ada kecocokan. Yah, sudah familiar menjadi alasan perpisahan dalam romansa anak SMA. Aku menyadari itu. Tuntutan keseriusan pasti tak akan membuahkan ini.. Dari sini, aku sempat berpikir. Perempuan itu, akan terlihat begitu cantik ketika tak dimiliki. Iya, cantik yang kumaksud kecantikan fisik, plus kecantikan dari dalam. Biarlah tak kumiliki saja, asal tetap terlihat cantik. Hehe, sekedar kuhibur diri untuk meninggalkan kegalauan. Galau, sebenarnya tak begitu galau juga. Aku yakin, Tuhan sengaja membuat skenario ini dalam hidupku. Aku tak sekedar hidup untuk berada di sekitar Nuhra. 

Aku yakin, akan ada Nuhra yang lain yang akan kutemui, bahkan lebih. Hari ini, aku berusaha jadi orang baik saja karena Tuhan menjanjikan kebaikan kepada orang baik.

Aku yakin, Tuhan mempersiapkan setiap dari kita untuk menemukan cinta sejati. Yah, aku semakin yakin. Tuhan, aku akan tetap berusaha.

555

CATATAN: 
Perempuan. Sengaja penulis menggunakan kata 'perempuan'. Banyak pandangan tentang penggunaan kata 'perempuan'. Mulai dari pemaknaan untuk kedewasaan dan sebagainya. Tapi, dalam cerita ini, penulis memakai kata'perempuan' dengan memandangnya sebagai insan yang terhormat. Sebagaimanaa laki-laki, perempuan memiliki kehormatan. Adalah bentuk terimakasihku kepada perempuan yang pernah hinggap dalam segala jalan hidupku, perempuan-perempuan yang begitu terhormat bagiku. Teman, teman dekat, sahabat. Dan terkhusus kepada ibuku tercinta, St Nuraeni yang penuh kasih.