Jumat, 11 Juli 2014

Hujan dan Basah: Ketika Tak Pernah Ketemu

Sebuah isyarat bahwa hari membawa matahari kedalam kondisi yang tak berbeda dengan kemarin. Di langit masih tersisa sedikit biasan merah muda hingga hampir kekuningan, udara sejuk menemani dan belum bgtu banyak kendaraan yang lalu lalang. Langkah begitu jelas memaki jalan yang dilaluinya, sesekali irama semakin lincah ketika mendapati jalan yang lapang dan sunyi.

Di sebuah lorong, di sebuah kursi besi tua, pinggirannya sedikit berkarat, badan ini terduduk. mencoba menutup mata dan menghirup panjang udara pagi yang dingin. sedikit mengurangi kegelisahan.

ini tak begitu asing, dan dulu telah menjadi tempat yang begitu lekat bagi dua orang sahabat, dekat. menhadi kursi yang menyimpan pembicaraan dua insan yg saling bertukar hari.

Senin, 07 Juli 2014

HUJAN DAN BASAH: Penyaksi

Rasanya kalut, kalau kudapati malam dengan ramahnya menemani bulan. Mereka seakan menyatu dalam harmoni, damai. Dan disini ada sebentuk mahluk hujan basah yang hanya sibuk menjadi sosok penyaksi saja. 
Sesekali kuyakinkan diri. Menjadi sosok penyaksi, bukankah sebuah kebanggaan? Mereka sebenarnya tak mencipta damai itu, hanya merasakan. Kalausaja tak ada penyaksi, bagaimana bisa damai akan hadir. Mungkin, hanya akan bergeliat sebatas rasa yang tak akan bisa berujung kata. Cukup bahagia dengan ini. Sebuah kebanggaan. Bertahan, mengahadapi hukum alam. Yang pada akhirnya terbawa kedalam alunan takdir. 

#2
Sadar, apalah gunanya jika lingkungan tak memberi ruang. Sebenarnya, tak ada yang untung dengan ini, pun tak ada rugi. Hanya saja belum ada arah kedewasaan yang memberi kesempatan untuk mengolah, bahwa ada hal positif yang semestinya terbangun. Kalaupun sempat cacat, biarlah sedikit topangan bahu memberi lega.
Sebagian dari kita masih mencoba memelihara ego, tak mampu ditawar oleh perasaan menerima. Sebab, belum ada rindu yang bisa menukarnya. Yah, mungkin karena sudah sering-sering terbiasa melepas diri, dan pada akhirnya lebih suka saling tak tahu apa-apa, dan seterusnya. Pada saatnya, kita akan saling merindu. Kalaupun tidak, seenggak-enggaknya ada rindu untuk tak merindu. Pada saatnya, nanti.

Jumat, 04 Juli 2014

Manusia dan Manusia-manusia

Manusia modern mampu menyelam ke dasar laut, seperti ikan
Mampu terbang begitu tinggi menjelajahi angkasa, layaknya burung

Saya ragu kalau ia mampu menjelaskan bagaimana berjalan di bumi ini seperti manusia lainnya



   Sumber gambar: http://www.google.com

Kamis, 03 Juli 2014

Sendiri?

(sumber)
Tak ada yang tahu bentuk kebaikan yang selalu dianugrahkanNya 
kepada sosok ciptaNya. 
Tapi kita yakin, 
akan selalu ada kesempatan untuk berbahagia, 
bagaimanapun kondisinya.
-----------------------------------------------------------------------
Sendiri. Hari ini aku sahur sendiri di dalam sebuah kamar. Kamar ini tak seperti yang ada di rumah-rumah yang setiap petak adalah ruang khusus, seperti ruang tamu, ruang keluarga ataukah dapur. Ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur tak punya sekat disini. Semuanya menyatu di dalam ruang yang tak begitu luas namun sudah lumayan untuk berteduh dan sekedar tempat pembaringan. Kamar kos. Iya, Aku bersahur sendiri disini, di hari kelima puasa ini.

Sudah biasa dan tak masalah amat. Tahun lalu aku juga melaluinya. Memang selalu ada perasaan kalut kalau sudah tiba saatnya sahur, tak ada kawan untuk sekedar berbincang. Orang tua, saudara, dan teman tiba-tiba menjadi bayangan abu-abu yang mengganjal leher dalam menelan.

Resiko. Bukan tanpa alasan sampai nuansa ini ada. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan, dan yah, seperti seperti yang kuceritakan tadi akhirnya.

Ada juga saat diri ini merasa tak perlu persoalkan masalah itu. Kupikir, ini adalah kemandirian kecil-kecilan. Toh, aku bukan lagi anak sekolahan yang masih mesti diurusi orang tua sana sini.

Aku sedikit menyesali pertemuan dengan beberapa teman kampus, kemarin. Erick, Pipi, Awal, Fadli, Dhan, juga Febi. Tak sengaja kedua mataku menangkap keberadaan mereka setelah aku keluar dari sebuah obyek wisata pantai di Kabupaten Bantaeng. Sudah kutahu kabar tentang rencana mereka ke Bira, obyek wisata pantai ternama yang ada di kawasan Kabupaten Bulukumba. Masalahnya, sudah kuputuskan untuk ke Makassar dan jelas aku dan mereka berlawanan arah. Situasi ini bikin aku sedikit iri. Refreshing ke suatu tempat yang indah adalah perjalanan yang penuh kesan, aku sangat tak ingin melewatkannya, apalagi bersama beberapa teman. Andai tak ada pertemuan saja, rasa iri ini pasti akan sedikit meredup. 

Sepanjang hari ini, diluar persoalan sahur tadi dan pertemuan dengan beberapa teman -di perjalanan ke Makassar-, banyak hal yang begitu menarik. Kejenuhanku untuk menetap di kamar kos pagi ini kulampiaskan dengan mencoba mencari beberapa suasana menghibur di luar sana.

Tujuan awaluku di anjungan Pantai Losari. Biasanya, disana sering ada even menarik di hari libur. Mungkin saja, di bulan Ramadhan ada hal yang menarik disana. Setelah disana, aku sedikit kecewa, suasana anjungan begitu sunyi. Hampir tak ada pengunjung. Masih terbilang pagi memang, jam 12.30 siang. Hmmm, momen ini kumanfaatkan saja untuk berkeliling sendirian di sekitar anjungan. Kesunyian ternyata memperlihatkan pesona anjungan Pantai Losari. Sayatan halus angin mammiri memberi kesejukan tersendiri pada tubuh ini yang sedari tadi menahan rasa panas yang disampaikan maatahari. Ada perasaan lega saja di hari puasa ini. Sejenak aku menyempatkan duduk di antara balok huruf dan menghadap ke laut, mataku menggeliat 180 derajat. Tak ada sudut yang kusisakan, aku begitu menikmati segala corak yang ditangkap oleh mataku, kesemuanya membuatku takjub. Masjid apung dengan kubah biru bermotif simetris, kuperhatikan disana beberapa orang yang berlalu lalang. Mesjid ini menjadi sudut yang tersibuk dibandingkan sudut lain yang sempat tertangkap oleh kedua mataku. Belum lagi pemandangan laut dihadapanku yang begitu serasinya dengan langit cerah yang ada, indah. Di tengah laut, nampak pulau yang di sisi kiri dan kanannya disibuki oleh truk dan pekerja yang lalu lalang, dua jembatan sedang dibangun. Sisi kiri kelihatannya sudah benar-benar menghubungkan daratan tempatku duduk dengan pulau yang terlihat, tak jauh di seberang laut. Ada keinginan untuk menyapa langit di daratan pulau itu. Mungkin nanti, kalu sudah jadi.

Beberapa patung yang menggambarkan keragaman etnis yang ada di Sulawesi Selatan. Rumah tonkonan dari Toraja, ada juga kerbau putih yang konon sangat bernilai bagi suku Toraja. Perahu pinisi dari Bulukumba, dan banyak lagi. Yang paling menarik, patung perahu pinisi. Aku langsung ingat saja tanah kelahiranku, Bulukumba. Kudengar dari cerita-cerita pendahulu, perahu pinisi pernah membentangkan layarnya ke seluruh penjuru dunia. Tak heran jika banyak bangsa asing yang begitu kenal dengan keberadaan perahu pinisi yang sampai hari ini, perahu pinisi masih tetap memperlihatkan eksistensinya.

Berjalan-jalan di sekitar anjungan benar benar memanjakan mata. Ah, tak perlu ada even disini untuk merasakan hiburan. Ini sudah jauh lebih menyenangkan. Sebentuk stand-board berdiri tegap membelakangi pemandangan pantai, sembari ada spanduk yang melekat bersamanya. Kuperhatikan, ada sosok tokoh yang tergambar di dalam rankaian  spanduk itu. Kelihatannya asing. Kubaca saja beberapa baris kata yang ada di dalamnya. Ternyata, ada pameran tunggal kaligrafi yang digelar oleh Abdul Aziz Ahmad. Aku tak mengenalnya. Lokasi pamerannya, tak jauh dari spanduk itu berdiri tegap, sekitar lima meteran saja. Sepertinya rugi kalau sampai kulewatkan begitu saja. Aku langsung masuk ke dalam.

Setelah mengisi beberapa kolom di buku tamu, saatnya berkeliling. Awalnya, aku sedikit penasaran. kaligrafi apa saja yang mungkin akan terpampang. Setelah di dalam dan melihatnya langsung, wow! Karya-karya yang gokil. Tak seperti kligrafi yang kutemui sebelumnya, ini sedikit berbeda, tidak monoton. Jadi tidak bosan setiap peralihan mata dari kaligrafi ke kaligrafi yang lain. Tak kuhitung berapa banyak itu, tapi kalau diperkirakan, mungkin ada puluhan. Tak hanya kaligrafi dengan aksara arab, ada juga yang mrnggunakan aksara lontara, dan beberapa dikolaborasikan dengan kata-kata indah dalam tulisan dan bahasa Indonesia -beberapa petuah Bugis-Makassar yang diterjemahkan-. Dalam kaligrafi, yang kulihat hanya warna hitam dan putih saja. Keunikan dari kaligrafi ini, di setiap kaligrafi, pasti ada beberapa gambar hewannya juga. Disandingkan dengan kaligrafi dengan begitu apik dan harmonisnya. Masih kurang kumengerti apa maksud pelukis dengan hal tersebut, tapi kupikir ada pesan tersendiri yang berusaha disampaikan pelukis kepada mata-mata yang sempat menyaksikan. Sayangnya, disaat kunjunganku itu, tak ada seorang pun yang kutemui di sepanjang perkelilinganku. Wajar-wajar saja. Siapa tahu, sore nanti akan ramai disini. Akan banyak orang yang ngabuburit di sekitar pantai. Barangkali.

Dua jam lebih kuhabiskan berkeliling. Sudah jam dua siang lewat beberapa menit. Dan ah, badan terasa kurang tahan melawan hawa panas di sekitar pantai. Kesejukan angin tadi ternyata hanya sesaat. Mungkin  ini juga akibat aku yang kelelahan berjalan sana-sini. Kukira, aku snggup bertahan disini hingga waktu berbuka tiba, dan berbuka di sini. Tapi, ternyata tidak. Mata ini sudah menggoda badan untuk mencari sebarang lahan pembaringan atau dekedar tempat teduh dan bisa berbaring di bawahnya. Ada sih, tapi ini tempat umum. Sudah, pulang saja. Setidaknya, sudah kunikmati siang ini dengan beberapa pemanja mata. Kalau saja aku kesini bersama beberapa orang, pasti akan lebih menarik. Aku berharap saja akan ada suasana seperti ini di hari yang lain, akan kuajak beberapa teman kesini. Mudah-mudahan. Hmmm, aku langsung saja teringat kucing kesayanganku.

Sepotong perjalanku hari ini. Kupikir, tak perlu menyesali diri ketika mendapati diri telah memiliki keputusan. Yakin, akan ada hal unik dan menarik yang ditemui di setiap pilihan. Aku yang harus bersahur sendiri di kamar kos -meninggalkan saat-saat bersama keluarga- dan tak sempat bergabung dengan yang lain -ke Pantai Bira-, ternyata masih memiliki kesmpatan untuk menghibur diri, walaupun sendiri. Tuhan selalu adil dengan caraNya sendiri. Tak ada yang tahu bentuk kebaikan yang selalu dianugrahkanNya kepada sosok ciptaNya. Tapi kita yakin, akan selalu ada kesempatan untuk berbahagia, bagaimanapun kondisinya.

555

Merry Riana, Benar-benar Motivator

Merry Riana. Pernah dengar? Pernah sekedar membaca di beberapa media massa atau di beberapa  buku? Ya, aku kenal sosoknya melalui sebuah buku motivasi yang sempat menarik mataku ke salah satu rak mungil di salah satu toko buku. Semakin lama, semakin ku kenal sosoknya dari cerita-cerita mulut yang ramah, hingga kutelusuri sendiri melalui berbagai media informasi. Ternyata, ia bukanlah motivator instan yang begitu saja hadir di depan publik. Perjalanan hidup membuatnya tidak sungkan untuk berbagi sukses dengan sesama. Gambaran hidupnya tertuang jelas dalam buku biografi  tentang dirinya yang lebih suka kusebut saja itu novel.

Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar. True Story. Sebuah novel dengan cerita yang begitu apik dengan kerja keras dan semangat. Ditulis oleh Alberhiene Endah. Sebuah kisah perjuangan yang sangat menggugah, dari mahasiswi berkantong pas-pasan hingga bisa meraih penghasilan satu juta dollar di usia 26 tahun. Suatu yang tidak mudah dan penuh tantangan hingga berakhir pada sebuah prestasi. Kerja keras dan semangat, bukanlah perkara utama. Keuletan, keimanan, ketabahan dan pesan-pesan orang-orang terkasih terkadang begitu berarti dalam rangkaian mendapati diri yang sesungguhnya ketika takdir dihadangkan dengan kondisi keuangan orangtua memburuk akibat krisis moneter, dan melanjutkan kuliah di negeri orang dengan modal pinjaman di bank dan biaya hidup yang jauh dari seadanya. Merry Riana menghadirkan sosok ibu yang begitu filosofis sebagai salah satu panutan hidup. 

Belum lagi tentang prahara lain yang melatarbelakangi hingga ia memilih lanjut di Singapura. Alva, suaminya kelak, menjadi pemberi batu loncatan bagi Merry dalam setiap mengawali semangatnya. 

Tak mudah menjadi Merry Riana. Merry Riana adalah saksi sekaligus pelaku hidup, bahwa setiap manusia yang hadir dalam masa-masa sulit akan selalu menemukan berkah dari Tuhan ketika tak pernah tersuarakan malas dalam raganya. Dan, jangan lupa kepada Tuhan. Berbagai lakon dijalani Merry. Tak apa ia mulai dari seorang pembagi brosur yang tak begitu menggiurkan, hingga ke lini lain yang serupa. Bagi Merry, ada pembelajaran besar yang ia temukan dari setiap waktu yang dilaluinya, dalam setiap lakon yang dijalaninya. Kesuksesan meraih satu juta dollar di usia belia, bukanlah prestasinya semata. Ada banyak orang-orang di sekitarnya yang membawanya larut dalam kemenangan. 

Selembar demi selembar, ceritanya selalu memberi hikmah dan semangat. Terkadang, rasa pesimisku berbalik terlimpahkan semangat untuk optimis ketika kudapati perjuangan hidup yang sedikit mirip denganku. Tak banyak, tapi luar biasa saja. Aku bisa menemukan sebuah titik yang tak sempat terbayangkan sebelumya. Dan logikaku kemudian membenarkannya.

Tak begitu banyak yang kusampaikan tentangnya. Masih banyak perjuangan hidup dan cerita-cerita manis yang rasanya begitu berharga untuk Merry, dan begitu menarik untuk dimaknai, bahkan pantas diteladani.

Merry Riana, agak canggung kusebut namanya demikian. Kak Merry, dari tumpukan cerita yang ia jadikan jejak hidup, membuatku merasa cukup untuk benar-benar percaya bahwa ia pantas menjadi seorang motivator.

555
 Sumber gambar: http://www.google.com

Rabu, 02 Juli 2014

Mari Mati di Dalam Kamar

Mari, kita menyendiri
Kunci kamar dengan begitu rapat
Seenggak-enggaknya bisa dipastikan tak ada cacing atau bahkan semut yang bisa melalui celahnya

Di dalam kamar, tak usah kau bawa racun ataukah beberapa zat aditif untuk membuang tubuhmu
Tak usah ada pisau untuk menggores nadi
Tak usah ada pistol untuk kau lontarkan di celah-celah garis dahimu

Hei, tak usah sesulit itu
Cukuplah kau persiapkan sebarang kasur dan beberapa bantal
Jika kau inginknn guling, mintalah pada nenek
Cukup itu
Tak usah kau menyalahkan ragamu untuk mati
Cukup kau membaringkan diri di atas kasur sembari meniduri bantal dan memeluk guling
Lalu, kau pikirkan tentang nasib tentang Sang Garuda, Indonesia