Rabu, 16 Oktober 2013

PERTAMA: Titik (dalam Kertas)

"Selalu ada kenyataan yang menyertai kehidupan, dan itu sudah pasti, tidak haus dengan nego, tidak lapar dengan nasi, tetapi lega dan kenyang dengan maya"
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Luluh lantah dahan kayu kering nan lapuk, masih ada tanda. Bukan berarti tanpa arti. Memang dulunya kayu, tapi masih kayu dalam nyata, yang akan menumbuhkan 1000 kayu. Orang mungkin tak faham itu, tapi setidaknya bisa lebih memakanainya.

Dunia ini terang, penuh cerita yang berawal, dan entahlah berakhir atau semuanya bertele tele. Sudah petang, suara tangisan halus terdengar dari sebuah kamar yg tidak cukup luas, pahlawan kecil Pak Jon sepertinya kehilangan susu dari botol kecil yang sering kita sebut dot, atau do'-istilah air susu bukan ibu-. "cup, cup, cup....", dituangnya beberapa air bening ke dalam dot yang sepertinya telah diberi gula pasir sebelumya, seadanya, sudah sering Pak Jon lakukan.
Setelah kejadian itu, 3 bulan lalu, Pak Jon masih bisa melihat langit. pasca meletusnya Gunung Lompo Battang, 16 Juni 2006. St Nur Intang ternyata tidak punya kesempatan lama untuk bisa melihat anaknya tumbuh menjadi sosok penghuni Tanah Daeng.
"Rehan, Rehan, berhenti, nak. Bapak disini...". Pak Jon masih tersenyum, entah kenapa masih sempat ada butiran bening yang menyertai tawanya, benar benar bening. Mata itu, Mata Pak Jon seakan berbicara kepada mata bocah malang yang kini ada di pangkuannya. Mata itu mencoba menjelaskan kepada mata Rehan tentang kehidupan, tentang cerita, tentang kenyataan yang bglegitu adanya. Yah, terlalu menyedihkan untuk diumbar. Pak Jon hanya satu diantara banyak orang yang merasakan itu. Mungkin di Makassar, ataukah Sulawesi. Mungkin saja di Indonesia, sampai bahkan dunia. Pak Jon Menyadari itu. Tegar, sudah pasti menjadi penopang hidupnya kini, berharap waktu akan lebih lama meluangkan kesempatan untuknya.
***