Minggu, 15 Juni 2014

Memanjati Langit

Ialah jemari yang menggelitik tanah dan pasir-pasir di dalam karung berkerut
Ialah telinga-telinga yang mencari suara-suara buram yang pernah diikrarkan kecapi tanpa senar
Ialah mata-mata yang menyusuri jejak-jejak waktu yang terasing
Ialah lidah-lidah yang mengutarakan kemenangan di dalam ruang tak berongga
Ialah hidung-hidung tunanetra yang meraba-raba udara
Ialah cerita yang ada di dalam tidurku kemarin malam
Ialah mimpi

Kudengar, ada secuil rindu yang kau tanam di antara akar edelweis
Kudengar, kupu-kupu selalu hinggap di atasnya
Selalu kudengar, ada sosok di sana, yang sering memberi setetes air mata
Apakah itu dirimu, Manis?
Yah, Apa dirimu?
Benarkah dirimu?

Sudah kau tahu, Manis
Aku ini pemudar gulamu
Aku ini pemendung matamu
Sudah kau tahu itu, Manis!

Tidakkah kau kecup lidah-lidah tetangga yang memainkan kecapi tanpa senar?
Kita sama-sama tergelitik, Manis
Maukah kau biarkan matamu luka dengan tamparku?
Biarlah, manis
Biarkan aku menamparmu hingga tergeletak di sumur Zam-zam

Berhentilah, Manis
Tak usah kau mengandalkan hidungmu mencari jejak hitam di tengah gelap

Kau Manis, dan biarlah aku Pahit
Kumau kau tetap manis
Janganlah aku memudarkanmu dalam adukan kita, Manis



0 comments:

Posting Komentar