Tampilkan postingan dengan label SUARA LANGIT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SUARA LANGIT. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Juni 2014

KELIMA: Kota Kecil di Dalam Kotak





"Biarkan langit memendarkan mata, 
biarkan tangan menemani langit dan malam memeluk bumi. 
Tak ada sayap yang dijanjikan Tuhan untuk memastikan biru, 
dan mata sudah cukup jauh berbicara tentang langit.
Kita percaya itu."
-----------------------------------------------------------------------
  "Sudah berapa lama kau menengadah, melontarkan pandangan kepada warna yang tak pernah tersentuh kebiruannya?", kubicarakan dengan pikirku hari itu. Entah apa yang terpikirkan, hanya saja seolah material dunia mencoba mengantarkan mataku untuk merasakan kebiruan langit. Ah, itu bukan masalah. 

Iya, hari itu cerah kok. Tak bisa kupandangi mentari terlalu lama, sinarnya berusaha membuat mataku melek. Yang sempat kuprhatikan, mentari kala itu berbingkai awan-awan tipis, perlahan berjalan dan saling membiarkan angin membawanya kemana saja.

Cukup lama, dan kakiku spertinya lebih awal merasakan panasnya tanah. Cepat-cepat kuayungkan kakiku, sembari memperhatikan sekitar, kalau saja ada pepohonan rindang yang bisa melepas dahaga kakiku. Disana rupanya, tepat dibawah pohon rindang nan teduh, dan sepi. Yah, seperti yang kucari. 

“Han, kamu dari tadi kemana? Pak Dar tadi masuk kelas loh.”, Tan, teman kuliah Aku.

“Iya, Tan. Waduh, Kenapa ndak SMS ? Padahal, tadi sudah aku bilang. Lupa lagi, lupa lagi.”, Aku memberi respon.

“Iyya juga, sih. Maaf yah Tan.”

Tan, Si Rambut Kribo. Kulit nan hitam begitu mendukung kekriboannya. Sering-sering saja dia senang pas diteriaki “Mbah Regge”, apalagi cewek. Tan memang pendatang, semenjak dia memutuskan untuk kuliah di Makassar, ia bertemu Aku di program Studi Pendidikan Matematika Bilingual, Jurusan Matematika Universitas Negeri makassar. Nusa Tenggara, tepatnya Bima, menjadi tanah kelahiran Tan. Logatnya belum berubah, dan terkadang ketika bersuara di keramaian, ketegangan jadi hilang. Pernah ada hari, pas asyik-asyiknya rapat di sekretariat lembaga kemahasiswaan jurusan, Tan memberi tanggapan, tapi aku lupa apa yng lucu hari itu.

Tak banyak memang yang kuharapkan dari sobatku itu, Tan. Aku tau betul, Tan satu-satunya sahabatku selama melanjutkan pendidikan, sudah setahun lebih. Hanya saja, Aku sering-sering risih ketika berjalan dengannya. Bukan karena rambutnya yang kribo, bukan karena kulitnya nan hitam, dan bukan karena sosoknya yang kurus dan pekat, bukan itu. Hampir semua cewe yang ditemuinya di jalan diteriakinya, urusan kenal bukan masalah baginya. Aku selalu bawa masker untuk jalan bersamanya, tak mau menaggung malu untuk Tan. Haha... apa benar aku tak punya sedikit harga diri yang mampu digadaikannnya untuk Tan? Bukan itu, aku hanya tak mau meninggalkan Tan sendiri. Keberanianku adalah menemani Tan, sahabatku.

Kembali ke pertemuan aku dan Tan tadi. Kami menghabiskan waktu hingga bumi memeluk mentari petang itu. Banyak yang mereka bicarakan, mengenai aku yang begitu lamanya menengadah hari ini, dan juga Tan, dia berbagi tentang suasana di kelas di siang tadi. Malam memberi isyarat kepada kami untuk segera bergegas. Aku juga sepertinya sudah letih, kuajak Tan ke kos, kebetulan ada tugas dari Pak Dar yang bisa kami kerjakan malam nanti.

Tetang Pak Dar. Dia adalah sosok yang tegas, dosen kalkulus kami. Sering-sering aku mengelak darinya. Pernah aku menghadap di ruangannya, gara-gara sudah tiga kali tak mengikuti kuliahnya yang hanya 16 pertemuan. Aku sudah tau, setiap mata kuliah, kehadiran itu mesti 80 persen. Aku cuma malas, ketika di dalam kelas, harus berhadapan dengannya. Mungkin suaranya yang terlalu kecil, sampai-sampai pas kuliah, lebih sering aku mencari posisi yang menarik untuk menyatukan kelopak mata atas dan kelopak mata bawahkau sejenak. Tan dan banyak teman lainnya juga sering melakukan itu. Biasanya, kami saling bergiliran untuk kesempatan itu, ada jadwalnya juga malah. Si Monika, pernah kedapatan Pak Dar, dan sudah tak pernah masuk lagi. Terakhir kudengar hari itu, Pak Dar sudah jaminkan nilai Error. Lebih dalam lagi tentang Pak Dar, sebenarnya beliau lucu loh.

Kadang ia sibuk berceloteh hingga waktu pertemuan kuliah habis, dan banyak dari kami yang belum sempat dengar, suaranya kan tipis, alias kecil. Tapi, yang kuliahat selama ini, dia juga punya selera humor. Pernah aku terlambat, dan beliau mencoba mengibuliku dengan sedikit ejekan-ejekan, teman-teman begitu sumringahnya di depan kelas, sebagian bilang perutnya sudah mau bocor. Yah, mungkin saja Pak Dar berusaha terlihat lebih tegas di depan kami selama ini.

Bersambung>>
Maaf, mengenai judulnya kenapa begitu? dan terasa belum kena. Yah, niat penulis sampai kesana, tapi nanti yah. Hari ini hanya kuceritakan lebih banyak tentang mereka yang menurutku indah, dalam dunia fiksiku. Tapi judulnya sudah pas loh (^_^). Ada KEEMPAT yang skip dulu. Disana ada caerita yang lebih kompleks, tapi nanti publishnya. maaf belum terlalu memuaskan, dengan paras bahasaku yang tak lebih dari sekedar gumaman.

  

Rabu, 16 Oktober 2013

PERTAMA: Titik (dalam Kertas)

"Selalu ada kenyataan yang menyertai kehidupan, dan itu sudah pasti, tidak haus dengan nego, tidak lapar dengan nasi, tetapi lega dan kenyang dengan maya"
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Luluh lantah dahan kayu kering nan lapuk, masih ada tanda. Bukan berarti tanpa arti. Memang dulunya kayu, tapi masih kayu dalam nyata, yang akan menumbuhkan 1000 kayu. Orang mungkin tak faham itu, tapi setidaknya bisa lebih memakanainya.

Dunia ini terang, penuh cerita yang berawal, dan entahlah berakhir atau semuanya bertele tele. Sudah petang, suara tangisan halus terdengar dari sebuah kamar yg tidak cukup luas, pahlawan kecil Pak Jon sepertinya kehilangan susu dari botol kecil yang sering kita sebut dot, atau do'-istilah air susu bukan ibu-. "cup, cup, cup....", dituangnya beberapa air bening ke dalam dot yang sepertinya telah diberi gula pasir sebelumya, seadanya, sudah sering Pak Jon lakukan.
Setelah kejadian itu, 3 bulan lalu, Pak Jon masih bisa melihat langit. pasca meletusnya Gunung Lompo Battang, 16 Juni 2006. St Nur Intang ternyata tidak punya kesempatan lama untuk bisa melihat anaknya tumbuh menjadi sosok penghuni Tanah Daeng.
"Rehan, Rehan, berhenti, nak. Bapak disini...". Pak Jon masih tersenyum, entah kenapa masih sempat ada butiran bening yang menyertai tawanya, benar benar bening. Mata itu, Mata Pak Jon seakan berbicara kepada mata bocah malang yang kini ada di pangkuannya. Mata itu mencoba menjelaskan kepada mata Rehan tentang kehidupan, tentang cerita, tentang kenyataan yang bglegitu adanya. Yah, terlalu menyedihkan untuk diumbar. Pak Jon hanya satu diantara banyak orang yang merasakan itu. Mungkin di Makassar, ataukah Sulawesi. Mungkin saja di Indonesia, sampai bahkan dunia. Pak Jon Menyadari itu. Tegar, sudah pasti menjadi penopang hidupnya kini, berharap waktu akan lebih lama meluangkan kesempatan untuknya.
***