biarkan tangan menemani langit dan malam memeluk bumi.
Tak ada sayap yang dijanjikan Tuhan untuk memastikan biru,
dan mata sudah cukup jauh berbicara tentang langit.
Kita percaya itu."
-----------------------------------------------------------------------
"Sudah berapa lama kau menengadah, melontarkan
pandangan kepada warna yang tak pernah tersentuh kebiruannya?",
kubicarakan dengan pikirku hari itu. Entah apa yang terpikirkan, hanya saja
seolah material dunia mencoba mengantarkan mataku untuk merasakan kebiruan langit.
Ah, itu bukan masalah.
Iya, hari itu cerah kok. Tak bisa kupandangi mentari terlalu
lama, sinarnya berusaha membuat mataku melek. Yang sempat kuprhatikan, mentari
kala itu berbingkai awan-awan tipis, perlahan berjalan dan saling membiarkan
angin membawanya kemana saja.
Cukup lama, dan kakiku spertinya lebih awal merasakan
panasnya tanah. Cepat-cepat kuayungkan kakiku, sembari memperhatikan sekitar,
kalau saja ada pepohonan rindang yang bisa melepas dahaga kakiku. Disana
rupanya, tepat dibawah pohon rindang nan teduh, dan sepi. Yah, seperti yang
kucari.
“Han, kamu dari tadi kemana? Pak Dar tadi masuk kelas loh.”,
Tan, teman kuliah Aku.
“Iya, Tan. Waduh, Kenapa ndak SMS ? Padahal, tadi sudah aku
bilang. Lupa lagi, lupa lagi.”, Aku memberi respon.
“Iyya juga, sih. Maaf yah Tan.”
Tan, Si Rambut Kribo. Kulit nan hitam begitu mendukung
kekriboannya. Sering-sering saja dia senang pas diteriaki “Mbah Regge”, apalagi
cewek. Tan memang pendatang, semenjak dia memutuskan untuk kuliah di Makassar,
ia bertemu Aku di program Studi Pendidikan Matematika Bilingual, Jurusan
Matematika Universitas Negeri makassar. Nusa Tenggara, tepatnya Bima, menjadi
tanah kelahiran Tan. Logatnya belum berubah, dan terkadang ketika bersuara di
keramaian, ketegangan jadi hilang. Pernah ada hari, pas asyik-asyiknya rapat di
sekretariat lembaga kemahasiswaan jurusan, Tan memberi tanggapan, tapi aku lupa
apa yng lucu hari itu.
Tak banyak memang yang kuharapkan dari sobatku itu, Tan. Aku
tau betul, Tan satu-satunya sahabatku selama melanjutkan pendidikan, sudah
setahun lebih. Hanya saja, Aku sering-sering risih ketika berjalan dengannya.
Bukan karena rambutnya yang kribo, bukan karena kulitnya nan hitam, dan bukan
karena sosoknya yang kurus dan pekat, bukan itu. Hampir semua cewe yang
ditemuinya di jalan diteriakinya, urusan kenal bukan masalah baginya. Aku
selalu bawa masker untuk jalan bersamanya, tak mau menaggung malu untuk Tan.
Haha... apa benar aku tak punya sedikit harga diri yang mampu digadaikannnya
untuk Tan? Bukan itu, aku hanya tak mau meninggalkan Tan sendiri. Keberanianku adalah
menemani Tan, sahabatku.
Kembali ke pertemuan aku dan Tan tadi. Kami menghabiskan
waktu hingga bumi memeluk mentari petang itu. Banyak yang mereka bicarakan,
mengenai aku yang begitu lamanya menengadah hari ini, dan juga Tan, dia berbagi
tentang suasana di kelas di siang tadi. Malam memberi isyarat kepada kami untuk
segera bergegas. Aku juga sepertinya sudah letih, kuajak Tan ke kos, kebetulan
ada tugas dari Pak Dar yang bisa kami kerjakan malam nanti.
Tetang Pak Dar. Dia adalah sosok yang tegas, dosen kalkulus
kami. Sering-sering aku mengelak darinya. Pernah aku menghadap di ruangannya,
gara-gara sudah tiga kali tak mengikuti kuliahnya yang hanya 16 pertemuan. Aku
sudah tau, setiap mata kuliah, kehadiran itu mesti 80 persen. Aku cuma malas,
ketika di dalam kelas, harus berhadapan dengannya. Mungkin suaranya yang
terlalu kecil, sampai-sampai pas kuliah, lebih sering aku mencari posisi yang
menarik untuk menyatukan kelopak mata atas dan kelopak mata bawahkau sejenak. Tan
dan banyak teman lainnya juga sering melakukan itu. Biasanya, kami saling
bergiliran untuk kesempatan itu, ada jadwalnya juga malah. Si Monika, pernah
kedapatan Pak Dar, dan sudah tak pernah masuk lagi. Terakhir kudengar hari itu,
Pak Dar sudah jaminkan nilai Error. Lebih dalam lagi tentang Pak Dar,
sebenarnya beliau lucu loh.
Kadang ia sibuk berceloteh hingga waktu pertemuan
kuliah habis, dan banyak dari kami yang belum sempat dengar, suaranya kan
tipis, alias kecil. Tapi, yang kuliahat selama ini, dia juga punya selera
humor. Pernah aku terlambat, dan beliau mencoba mengibuliku dengan sedikit
ejekan-ejekan, teman-teman begitu sumringahnya di depan kelas, sebagian
bilang perutnya sudah mau bocor. Yah, mungkin saja Pak Dar berusaha terlihat lebih
tegas di depan kami selama ini.
Bersambung>>
Maaf, mengenai judulnya kenapa begitu? dan terasa belum kena. Yah, niat penulis sampai kesana, tapi nanti yah. Hari ini hanya kuceritakan lebih banyak tentang mereka yang menurutku indah, dalam dunia fiksiku. Tapi judulnya sudah pas loh (^_^). Ada KEEMPAT yang skip dulu. Disana ada caerita yang lebih kompleks, tapi nanti publishnya. maaf belum terlalu memuaskan, dengan paras bahasaku yang tak lebih dari sekedar gumaman.