Kamis, 03 Juli 2014

Sendiri?

(sumber)
Tak ada yang tahu bentuk kebaikan yang selalu dianugrahkanNya 
kepada sosok ciptaNya. 
Tapi kita yakin, 
akan selalu ada kesempatan untuk berbahagia, 
bagaimanapun kondisinya.
-----------------------------------------------------------------------
Sendiri. Hari ini aku sahur sendiri di dalam sebuah kamar. Kamar ini tak seperti yang ada di rumah-rumah yang setiap petak adalah ruang khusus, seperti ruang tamu, ruang keluarga ataukah dapur. Ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur tak punya sekat disini. Semuanya menyatu di dalam ruang yang tak begitu luas namun sudah lumayan untuk berteduh dan sekedar tempat pembaringan. Kamar kos. Iya, Aku bersahur sendiri disini, di hari kelima puasa ini.

Sudah biasa dan tak masalah amat. Tahun lalu aku juga melaluinya. Memang selalu ada perasaan kalut kalau sudah tiba saatnya sahur, tak ada kawan untuk sekedar berbincang. Orang tua, saudara, dan teman tiba-tiba menjadi bayangan abu-abu yang mengganjal leher dalam menelan.

Resiko. Bukan tanpa alasan sampai nuansa ini ada. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan, dan yah, seperti seperti yang kuceritakan tadi akhirnya.

Ada juga saat diri ini merasa tak perlu persoalkan masalah itu. Kupikir, ini adalah kemandirian kecil-kecilan. Toh, aku bukan lagi anak sekolahan yang masih mesti diurusi orang tua sana sini.

Aku sedikit menyesali pertemuan dengan beberapa teman kampus, kemarin. Erick, Pipi, Awal, Fadli, Dhan, juga Febi. Tak sengaja kedua mataku menangkap keberadaan mereka setelah aku keluar dari sebuah obyek wisata pantai di Kabupaten Bantaeng. Sudah kutahu kabar tentang rencana mereka ke Bira, obyek wisata pantai ternama yang ada di kawasan Kabupaten Bulukumba. Masalahnya, sudah kuputuskan untuk ke Makassar dan jelas aku dan mereka berlawanan arah. Situasi ini bikin aku sedikit iri. Refreshing ke suatu tempat yang indah adalah perjalanan yang penuh kesan, aku sangat tak ingin melewatkannya, apalagi bersama beberapa teman. Andai tak ada pertemuan saja, rasa iri ini pasti akan sedikit meredup. 

Sepanjang hari ini, diluar persoalan sahur tadi dan pertemuan dengan beberapa teman -di perjalanan ke Makassar-, banyak hal yang begitu menarik. Kejenuhanku untuk menetap di kamar kos pagi ini kulampiaskan dengan mencoba mencari beberapa suasana menghibur di luar sana.

Tujuan awaluku di anjungan Pantai Losari. Biasanya, disana sering ada even menarik di hari libur. Mungkin saja, di bulan Ramadhan ada hal yang menarik disana. Setelah disana, aku sedikit kecewa, suasana anjungan begitu sunyi. Hampir tak ada pengunjung. Masih terbilang pagi memang, jam 12.30 siang. Hmmm, momen ini kumanfaatkan saja untuk berkeliling sendirian di sekitar anjungan. Kesunyian ternyata memperlihatkan pesona anjungan Pantai Losari. Sayatan halus angin mammiri memberi kesejukan tersendiri pada tubuh ini yang sedari tadi menahan rasa panas yang disampaikan maatahari. Ada perasaan lega saja di hari puasa ini. Sejenak aku menyempatkan duduk di antara balok huruf dan menghadap ke laut, mataku menggeliat 180 derajat. Tak ada sudut yang kusisakan, aku begitu menikmati segala corak yang ditangkap oleh mataku, kesemuanya membuatku takjub. Masjid apung dengan kubah biru bermotif simetris, kuperhatikan disana beberapa orang yang berlalu lalang. Mesjid ini menjadi sudut yang tersibuk dibandingkan sudut lain yang sempat tertangkap oleh kedua mataku. Belum lagi pemandangan laut dihadapanku yang begitu serasinya dengan langit cerah yang ada, indah. Di tengah laut, nampak pulau yang di sisi kiri dan kanannya disibuki oleh truk dan pekerja yang lalu lalang, dua jembatan sedang dibangun. Sisi kiri kelihatannya sudah benar-benar menghubungkan daratan tempatku duduk dengan pulau yang terlihat, tak jauh di seberang laut. Ada keinginan untuk menyapa langit di daratan pulau itu. Mungkin nanti, kalu sudah jadi.

Beberapa patung yang menggambarkan keragaman etnis yang ada di Sulawesi Selatan. Rumah tonkonan dari Toraja, ada juga kerbau putih yang konon sangat bernilai bagi suku Toraja. Perahu pinisi dari Bulukumba, dan banyak lagi. Yang paling menarik, patung perahu pinisi. Aku langsung ingat saja tanah kelahiranku, Bulukumba. Kudengar dari cerita-cerita pendahulu, perahu pinisi pernah membentangkan layarnya ke seluruh penjuru dunia. Tak heran jika banyak bangsa asing yang begitu kenal dengan keberadaan perahu pinisi yang sampai hari ini, perahu pinisi masih tetap memperlihatkan eksistensinya.

Berjalan-jalan di sekitar anjungan benar benar memanjakan mata. Ah, tak perlu ada even disini untuk merasakan hiburan. Ini sudah jauh lebih menyenangkan. Sebentuk stand-board berdiri tegap membelakangi pemandangan pantai, sembari ada spanduk yang melekat bersamanya. Kuperhatikan, ada sosok tokoh yang tergambar di dalam rankaian  spanduk itu. Kelihatannya asing. Kubaca saja beberapa baris kata yang ada di dalamnya. Ternyata, ada pameran tunggal kaligrafi yang digelar oleh Abdul Aziz Ahmad. Aku tak mengenalnya. Lokasi pamerannya, tak jauh dari spanduk itu berdiri tegap, sekitar lima meteran saja. Sepertinya rugi kalau sampai kulewatkan begitu saja. Aku langsung masuk ke dalam.

Setelah mengisi beberapa kolom di buku tamu, saatnya berkeliling. Awalnya, aku sedikit penasaran. kaligrafi apa saja yang mungkin akan terpampang. Setelah di dalam dan melihatnya langsung, wow! Karya-karya yang gokil. Tak seperti kligrafi yang kutemui sebelumnya, ini sedikit berbeda, tidak monoton. Jadi tidak bosan setiap peralihan mata dari kaligrafi ke kaligrafi yang lain. Tak kuhitung berapa banyak itu, tapi kalau diperkirakan, mungkin ada puluhan. Tak hanya kaligrafi dengan aksara arab, ada juga yang mrnggunakan aksara lontara, dan beberapa dikolaborasikan dengan kata-kata indah dalam tulisan dan bahasa Indonesia -beberapa petuah Bugis-Makassar yang diterjemahkan-. Dalam kaligrafi, yang kulihat hanya warna hitam dan putih saja. Keunikan dari kaligrafi ini, di setiap kaligrafi, pasti ada beberapa gambar hewannya juga. Disandingkan dengan kaligrafi dengan begitu apik dan harmonisnya. Masih kurang kumengerti apa maksud pelukis dengan hal tersebut, tapi kupikir ada pesan tersendiri yang berusaha disampaikan pelukis kepada mata-mata yang sempat menyaksikan. Sayangnya, disaat kunjunganku itu, tak ada seorang pun yang kutemui di sepanjang perkelilinganku. Wajar-wajar saja. Siapa tahu, sore nanti akan ramai disini. Akan banyak orang yang ngabuburit di sekitar pantai. Barangkali.

Dua jam lebih kuhabiskan berkeliling. Sudah jam dua siang lewat beberapa menit. Dan ah, badan terasa kurang tahan melawan hawa panas di sekitar pantai. Kesejukan angin tadi ternyata hanya sesaat. Mungkin  ini juga akibat aku yang kelelahan berjalan sana-sini. Kukira, aku snggup bertahan disini hingga waktu berbuka tiba, dan berbuka di sini. Tapi, ternyata tidak. Mata ini sudah menggoda badan untuk mencari sebarang lahan pembaringan atau dekedar tempat teduh dan bisa berbaring di bawahnya. Ada sih, tapi ini tempat umum. Sudah, pulang saja. Setidaknya, sudah kunikmati siang ini dengan beberapa pemanja mata. Kalau saja aku kesini bersama beberapa orang, pasti akan lebih menarik. Aku berharap saja akan ada suasana seperti ini di hari yang lain, akan kuajak beberapa teman kesini. Mudah-mudahan. Hmmm, aku langsung saja teringat kucing kesayanganku.

Sepotong perjalanku hari ini. Kupikir, tak perlu menyesali diri ketika mendapati diri telah memiliki keputusan. Yakin, akan ada hal unik dan menarik yang ditemui di setiap pilihan. Aku yang harus bersahur sendiri di kamar kos -meninggalkan saat-saat bersama keluarga- dan tak sempat bergabung dengan yang lain -ke Pantai Bira-, ternyata masih memiliki kesmpatan untuk menghibur diri, walaupun sendiri. Tuhan selalu adil dengan caraNya sendiri. Tak ada yang tahu bentuk kebaikan yang selalu dianugrahkanNya kepada sosok ciptaNya. Tapi kita yakin, akan selalu ada kesempatan untuk berbahagia, bagaimanapun kondisinya.

555

0 comments:

Posting Komentar