Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Juni 2014

Banyak Kami dan Berlimpah Kalian

Kolosal, mengamuk diantara batu
Kontras dengan kesannya yang beralur
Berdiri di antara kami dan mereka

Aku, dia dan kamu adalah kami dan kalian
 

Enyahlah, smuanya enyahlah
Biarkan logika kami mengamuk di antara batu seperti yang pernah
Layaknya goresan di balik kanvas dengan abstrak
Dengan kuas usang titipan pribumi
Biarlah itu menjadi imaji
Dalam gurindam yang selalu meminta
Biarkanlah brjuta kami dan kalian tetaplah aku, dia dan kau juga

Di dalam rumah, kami menyatu dengan gorden-gorden jendela yang seraya berumpet dengan keumuman yang terjelaskan
 

Wah, wah, wah. . .
Sepotong suguhan, entah itu apa
Dan kami adalah kalian yang di dalamnya banyak kami, berjuta kau, berlimpah dia, dan aku

Minggu, 22 Juni 2014

Senja nan Basah

  
Bisikan-bisikan alam mulai membawa udara dingin
Kulit menggigil, segera kubalut diri dengan bulu domba
Seraya memandangi matahri yang semakin hanyut ditelan malam
Pupil mata ini semakin melebar, dan semakin ingin kupastikan bahwa disana, diatas sana, matahari hanya sekedar tenggelam, tak hilang

Benar, banyak cerita pasti yang kukhyayalkan hari ini
Entah saat ini kusebut petang atau malam
Yang ku tahu langit telah membiarkan matahari disembunyikan awan

Ada waktu ketika kutilang menyebrang di udara, atas kepalaku
Kudengar gesekannya dengan angin, tak lama suaranya memanggil namaku, mengundang petir
Sontak, kuingat Dandelion yang pernah tumbuh di tepian jalan yang kulalui tadi
Deandelion yang sepertinya kini lebih nyaman menata diri diatas pot-pot mewah
Ataukah mungkin aku yang kurang peduli di kemarau kemarin

Petir pengundang malam
Mendung mengundang senja
Butir-butir peminta payung kini mulai merasuk ke celah-celah bulu domba dan bajuku

Yang sudah tau kulitku begitu getarnya terbasahi
Senjaku basah
Senja nan basah, membuat rinduku menepi sesaat

Merentang Langit

(Coming soon)

24 Mawar Pink

(coming soon)

Aku, dan Seribu Lampu Jalan

(Coming soon)

Kamuflase


Sudah kita tapaki tanah dengan beberapa langkah yang mengundang debu
Kala itu kemarau, jelas kita melihat debu-debu terusir angin dan migrasi ke celah-celah yang ada di setiap tubuh kita, kusebut itu rongga
Entah apa yang dicarinya

Sudah kukatakan bahwa di dalam badanku ini, tak akan tertemui tanah yang basah
Tak ada banyak air di dalam tubuhku
Bahkan, hujan pun tak pernah
Tak ada basah disini 
Tak ada basah yang mampu membuatmu tinggal lebih lama, debu

Di hari yang lain, kita memperhatikan tetali menari-nari bersama angin
Kau bertanya-tanya, bagaimana angin bisa membiarkan tali menari seindah itu?
Tadi, kau sempat kira itu bukanlah tali
Sampai kita berdebat, dan kubiarkan itu adalah tali
Dan akhirnya aku terbujukmu untuk menyangkal, biarlah itu bukan tali
Kukatakan, bukanlah tali

Banyak bab yang pernah kita baca bersama
Sampai kepada kursi-kursi yang pernah menopang pantat-pantat pendosa
Tak ada yang tahu tentang kursi apa yang kita singgahi
Aku pun lupa dan tak mau membiarkan imaji membiarkan ingat
Yang kita tahu, kita bersinggah di barisan kursi pendosa






Rabu, 18 Juni 2014

Sore Kita (Belum Lagi Aku Melihat, Sudah Kudapati)

Sudah ada tangkai di atap rumahmu
Ya, Kemarin gugur tersapu angin
Tak perlu khawatir, kita sama-sama meyakini, rumahmu beratapkan genteng
Dan apalah gunanya kuberitahu semua orang tentang tangkai itu
Ya, tidak seindah ketika kukatakan ada kupu-kupu yang memekarkan tamanmu
Dan kita tau, itu hanya tangkai
Tak begitu membebani atap nan genteng

Masihkah kita ingat?
Ketika hari ditutup senja dan kau pun memintaku membuang awan hitam yang sebenarnya malam

Tak perlu kita ingat, memamg
Biarkanlah gundah melawan semu yang menggerogoti leher dengan semut
Tak perlu kita tanyakan kepada penjaga taman ingatan
Sebenarnya itu hanya lupa yang ingat ketika kepala membentur pasir

Hei, kita
Kau tak pernah tahu seberapa sering aku mengulang hari yang ditutup seja, sendiri
Tapi jariku teramat terbatas untuk merangkai hitungan hari

Tak lagi kita

Senin, 16 Juni 2014

Temui Aku di Dalam Bola

Tak perlu menerobos hujan
Cukup membawaku dalam genggammu setiap saat
Aku janjikan pemain nan handal, yang akan kau temui di garis batas
Tak usahlah berlemah lembut
Kau sudah lembut
Cukup membawaku dalam genggammu setiap saat

Minggu, 15 Juni 2014

Memanjati Langit

Ialah jemari yang menggelitik tanah dan pasir-pasir di dalam karung berkerut
Ialah telinga-telinga yang mencari suara-suara buram yang pernah diikrarkan kecapi tanpa senar
Ialah mata-mata yang menyusuri jejak-jejak waktu yang terasing
Ialah lidah-lidah yang mengutarakan kemenangan di dalam ruang tak berongga
Ialah hidung-hidung tunanetra yang meraba-raba udara
Ialah cerita yang ada di dalam tidurku kemarin malam
Ialah mimpi

Kudengar, ada secuil rindu yang kau tanam di antara akar edelweis
Kudengar, kupu-kupu selalu hinggap di atasnya
Selalu kudengar, ada sosok di sana, yang sering memberi setetes air mata
Apakah itu dirimu, Manis?
Yah, Apa dirimu?
Benarkah dirimu?

Sudah kau tahu, Manis
Aku ini pemudar gulamu
Aku ini pemendung matamu
Sudah kau tahu itu, Manis!

Tidakkah kau kecup lidah-lidah tetangga yang memainkan kecapi tanpa senar?
Kita sama-sama tergelitik, Manis
Maukah kau biarkan matamu luka dengan tamparku?
Biarlah, manis
Biarkan aku menamparmu hingga tergeletak di sumur Zam-zam

Berhentilah, Manis
Tak usah kau mengandalkan hidungmu mencari jejak hitam di tengah gelap

Kau Manis, dan biarlah aku Pahit
Kumau kau tetap manis
Janganlah aku memudarkanmu dalam adukan kita, Manis



Mengintip Rindu

Pesona matamu menerobos sela-sela duniaku
Jelas kulihat malaikat mengawal rindumu
Terlalu banyak hari memang yang kita abaikan untuk sekedar bergurau dengan diri
Terlalu banyak cerita memang yang belum sempat tertoreh dalam layar kita
Tak apalah

Patung-patung di trotoar jalan sepertinya tahu kala kita memuja rindu
Diam-diam, mereka berbicara tentang langit-langit, lantai-lantai, dan dinding-dinding yang yang pernah kita rangkai, yang sempat terdengar dari pejalan kali
Terkadang aku malu melalui jalan yang berhunikan patung-patung

Sabtu, 14 Juni 2014

Berselimut Bulan

Malam ini dingin, dingin begitu dingin
Awan telah berlarlarian menaggalkan langit dalam telanjang
Lima lembar selimut kata, membalut pilu dalam hegemoni mimpi
Masih tak ada hangat yang terundang malam

Ah, inilah malam
Harusnya kulihat air yang memantulkan maya langit, indah
Harusnya tak kubiarkan diri ini tewas dalam dingin

Sesekali ada bulan dalam malam
Yah, kukatakan beberapa ayat nurani
Kubasahi malam dengan bulan
Dan ini akan sedikit hangat, lebih tak dinginlah
Memang, tak sehangat putihnya awan yang memberi janji kepada malam
Tak sehangat cahaya pagi yang nenekku bilang kala pagi
Ataukah api unggun kala ku kecil dan ditemani pak guru, Praja Muda Karana
Dengan bulan, aku tak butuh kehangatan lebih
Bulan
Saja

Berlakon pada Nyata, Menjerit dalam Maya

Semua menjadi indah, yah, indah
Tabiat malam memberi rasa untuk bergairah mengumbar senyum
Hampir semua bunga yang tumbuh di baris pagar tahu, tentang sebuah cerita yang berkalut mimpi
Sekali lagi kuumbar senyum
Biarlah, kuumbar saja
Barangkali akan ada jodoh yang akan meminangku di hadapan senja
Membawa rohku bersanding di pelaminan nyata
Barangkali

Sepertinya diri ini terlalu menyuarakan siang, lupa malam menjelma siang menjadi hitam
Dan akan membawaku dalam lupa menatap benda
Ketika diam, dan menatap hitam, tak ada warna yang mampu termakan mata, hanyalah hitam

Ha Ha Ha
Biarlah ini menjadi kalut dalam kalbu
Sembari tangan tetap menepuk, tepat lima pasang jari
Biarlah malam menyembunyikan siang dalam kolam hitamnya

Tak perlu ada bibir-bibir yang berceloteh tentang kasihnya
Tak perlu ada cinta yang terucap, aku memahami cintanya
Sosokku semestinya beranjak dari pasar hati ini
Memikul selemari celana-celana dan baju-baju
Segera menuju barisan nyata yang kukira tak mempersoalkan hitamnya malam

Menjerit, ah, aku masih menjerit
Iya, menjerit
Aku harus masih tetap menjerit
Sembari kucari maya yang memberiku nafas untuk satu teriakan saja
Barangkali

Rabu, 11 Juni 2014

Tentang Lingkaran


Berawal dari sepercik tinta, merangkai tetitik
Membentang panjang dengan kemiringan berirama
Menopang sudut geometris, begitu rapi
Teratur....
Tak seperti dongeng kemarin lusa
Tepat saat kakek membacakannya
Tak seperti dongeng kemarin lusa
Menciptakan kebohongan diantara keinginan kami tidur
Tak seperti itu
Bermula dari satu langkah
Berbaris memanggil nostalgia
Tak ada awal yang mampu memberi tanda mulainya
Akhirnya pun tak terdefinisi memori alam
Kadang, air membantu tanah, tanah membantu udara, udara membantu angin, untuk berhembus lega
Tetap saja fana
Titik-titik itu ramai
Gugusan rapi yang mengacu pada satu titik
Tak ada yang tau titik yang mana yang memulainya
Meski sebenarnya, titik akhirlah yang memulainya

Di(antara) Cermin

Dua tongkat, diantaranya ada barisan imaji
Seakan mendongenkan kenyataan
Memanipulasi saraf sensorik dengan makna kontradiksi
Nengadirkan ribuan imaji di antara dua tembok
Tembok lapis baja
Tembok lapis beton
Tembok lapis kasur
Tembok lapis kertas
Semakin menipis

Memang, semakin menipis bagi mereka yang tak mampu atau belum mampu memanipulasu saraf sensorik

Bayangannya bergerak
Adalah langkah merdeka, kejujuran
Menertawai kenyataan yang berdiri bungkuk di hadapannya
Sayang, kenyataan tak pernah tau jika dunia khayal menertawainya
Menertawai kemalasannya menempuh ruang
Seperti bukan malas
Hanya saja memang tak mampu
Kawan imajinya pun semakin tertawa

Tiap kali berdiri di depan cermin, ada sosok yang mampu nenelusuri dunianya
Seperti prosa, puisi, atau dongeng
Tapi bukanlah itu
Sosok itu mengelabui waktu
Seakan anak kecil yang bermain karet
Yang belum mengerti, karet itu bisa putus

Ketika


Seputar bola jalanan
Langkahku berputar, memendar, dan tak ada kosakata untuk henti
Trauma tak mampu memberiku henti di lampu merah
Yang ada kini, bunga yang semakin mekar, tak mengering
Ciptakan damai
Dan terasa oleh kulitku
Hari esok yang mungkin saja lebih menantang
Entah kumiliku bulu domba nan halus
Ataukah bulu duri laut yang menyakitkan luka dengan asinnya

Senin, 09 Juni 2014

Sempat (Di Bawah) Mendung


Sempat kutatap dirimu pada melati
Baunya begitu merbak menggetarkan telingaku
Sempat kulihat dirimu pada daun mimpi
Melekat kukuh pada tangkai usang

Yah, sempat
Sempat aku melihat
Pada bulan yang menyambangi malam
Dan aku malam, malam yang malang
Telah kusorakkan ini di setiap persimpangan jalan yang kulalui
Dan seperti tak ada yang terjadi
Semua membisu
Di sana hanya ada ikan-ikan kering tak berpemilik dan aku
Kubariskan cerita tentang melati, daun, malam dan pasar dalam imaji kemurnian
Sudahlah, mungkin ada mimpi di bawah mendung

Ma Ma



Hening, tak ada cerita untuk hari ini
Semua cukup memahami saja
Memahami tentang pagi tanpa fajar
Gelisah memang
Ketika pagi ini kujumpai pagi yang kelam
Seolah tak ada yang membedakannya dengan malam namun tak berbulan
Ma Ma
Ma Ma, Ma Ma
Suara kecil memuja kata dalam dago jiwa
Yah, tak ada ruang untuk meminta Tuhan menghadirkan ramah
Ini bukan tentang damai
Tentang sebuah nilai
Ma Ma
Adakah sela sela malam atau bahkan pagi yang mampu menarikmu keluar dari khayalku?
Adakah cara Tuhan mebiarkanmu jadi nyata?
Pagiku, kau begitu kejam tanpa fajar
Ma Ma ku senja, dan telah terenggut malam, kemarin

Minggu, 08 Juni 2014

Dialektika Minggu Sore


Hari ini
Setangkai sudut kecil menjadikan dudukan yang menarik untuk sosokku
Ada angin kecil disini, di selokan ada air mengalir disela batu dan sampah
Aku baru duduk disini
Dan sepertinya aku suka

Seolah Tuhan menitipkan (mata) milikNya
Aku bisa merasakan angin disini, dan ada selokan
Ada gugus bukit menjajar disini, tak terlalu tinggi
Seperti yang kukatakan, ada angin disini
Angin musiman yang reda kala tak ingin mengusik sesama sosokku
Ada 10 tiang bendera disini
Angin selalu jail mengusiknya
Mencoba merobek, tapi tak mampu
Angin memudarkan pesonanya
Ada banyak daun pisang disini
Juga terusik oleh angin
Dedaunnya telah sobek, perlahan tepiannya mengering
Mungkin tak ada jantung pisang lagi yang dijanjikannya
Ada tiang listrik menjulang tinggi dihadapanku

Besok, 9 Juni


La la la la la
La la la la
La la la
La la
La............. la
La la
La la la
La la la la
La la la la la

Terngiang sebuah lagu nirwana
Kala negara memberi sila, memberi limanya, seekor dasar
Bukan itu yang kumaksud
Aku ingin bercerita kepada sila tentang musim dalam nirwana
Aku belum kesana, namun ada nirwana yang bisa kusajakkan
Musim yang tenang

Selalu ada rindu kepada nanti
Sesaat dalam imaji, hadir beberapa langkah panjang yang mengantarkan kalbu kepada semi
Seolah tiba dimana rumput begitu lebat
Pepohonan memberi kisah tentang matahari yang tak pernah mengizinkannya meranggas
Jati mengatakan itu, sejati
Sudahlah Aku
Tak usahlah aku terlalu jauh melangkah
Aku saja berdiri disini, masih ada wadah kesejatian yang merambat
Sudahlah Aku
Apakah yang aku cari? Apa?
Aku, hei Aku. Kamu punya rasa kah Aku? Dasar Aku!
Tidak, bukan tentang diri yang melangkah
Ini adalah arti diri dalam rangka
Ada setangkai edelweis yang jadi penggadai rindu
Pernahkah orang-orang, binatang ataukah sejenis rumput memikirkan sebuah musim?
Weleh, ini Indonesia bung
Tak menyurutkan nafsuku
Akan kumatikan diriku dalam rebahan gembur
Membiarkan semua hari menyaksikan bulannya menahun
Dalam musim semi(ku)
 Makassar, 9 juni 2014

TENANG


Aku melihat malam
dengan tenang
Aku melihat malam
begitu tenang
Tenang