Instrumen musik begitu kerasnya
terdengar pagi ini, tubuhku yang masih doyan memanjakan diri di atas kasur
(sambil memeluk guling), sontak merasa tak nyaman lagi dalm kondisi itu. Suara
yang terdeteksi telingaku itu, tak seperti kemarin-kemarin yang bisa kuabaikan
saja jika dalam kondisi yang sama.
Tadi malam, sudah kupikirkan
matang-matang, bangun lebih pagi hari ini. Yah,
kalo sebelumnya aku bangun setengah delapan dan telat masuk ke kelas akhirnya,
hari ini aku ingin bangun lebih pagi memang, minimal setengah tujuh lah. Satu
jam lebih awal.
Semalam, sudah kupasang alarm di smartphone dan handphoneku. Enam lebih dua puluh lima menit yang ku pasang.
Nadanya memang kuganti dari biasanya, kupikir yang sebelumnya masih terlalu slow. walau sebenarnya, tetangga kamarku
bilang, yang kemarin itu alarm ku sangat membantu membangunkannya. Entahlah, apa aku yang punya telinga kurang
peka? Atau telinga tetanggaku itu yang terlalu sensitif? hmmm...
Iya, kupaksakan diri bangun
setelah mendengar alarm nan super nyaring itu. agak telat sih, tujuh menit dari jam yang ku pasang. Aku langsung ingat
agendaku hari ini yang mesti lebih pagi. Aku harus ke Benteng Rotterdam.
Benteng Rotterdam merupakan salah satu bangunan tua dan juga benteng
peninggalan Belanda di zaman kolonial di Makassar, kini jadi perpustakaan kota.
Aku harus kesana pagi ini, ada agenda pertemuan terakhir buat salah satu
mata-kuliahku. Aku ketua tingkat di kelas, dan kemarinnya sudah ada janji
dengan Kak Fajar, dosen mata kuliahnya. Kami lebih sering mengimbuhi namaya
dengan 'Kak', salah satunya karena dia memang muda, dekat dengan kami, dan
sedikit tampan. Kak Fajar juga merasa nyaman dengan panggilan itu, dia sendiri
yang minta itu dari awal perkenalannya di semester satu. pokoknya, kami dekat.
Titik!
Cepat-cepat selimut dan ranjang
ku rapikan, maklum anak kos. Segera kuguyur badan dengan beberapa gayung air,
dan buru-buru kunikmati bumbu-bumbu mandi. Pakaian sudah rapi di badan, dan Let's go! Waktunya ke kampus. Sudah
kesepakatan kemarin, kumpul di kampus terus ke tempat agenda, Benteng
Rotterdam.
Rencana keberangkatan dari kampus
terbilang sangat molor. Sebelumnya terencanakan sudah ada di tempat agenda pas
jam delapan, tapi malah berangkatnya jam sembilan.
Di Benteng Rotterdam, ada
rangkaian kegiatan yang telah kami bicarakan sebelumya dengan Kak Fajar.
Penentuan juara pertama, kedua dan ketiga debat dan juga ada pemberian gelar
ter-ter-an buat semua mahasiswa yang sekelas denganku. Debat, berlangsung
biasa-biasa saja. Tim Winda jadi juara tiga, kalahkan tim ku dalam perebutan
juara tiga. Topiknya, Winda mesti pertahankan argumen kalau Spanyol berpeluang
besar jadi jawara ajang sepak bola sedunia di musim ini, sedangkan aku mesti
bela-belain Belanda yang tak begitu ku kenali, aku memang tak begitu suka dengan
menonton sepak bola, tak seperti Winda.
Juara satu dan dua diperebutkan
tim Rahma dan Nursyidah. Lumayan seru di steep ini. Topiknya tentang calon
persiden. Rahma untuk Prabowo-Hatta –Pasangan Prabowo dan Hatta-, sementara
Nursyidah untuk Jokowi-JK –Pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla-. Kenapa seru? Lebih
pantasnya, lucu. Dilah yang setim dengan Rahma dan Indra yang setim dengan
Winda, di dunia nyata, sebenarnya tak suka dengan tokoh yang mesti dibela,
justru sebaliknya. Imbasnya, Dilah yang harusnya terlihat meyakinkan membela
Prabowo-Hatta, rada ndak ikhlas berargumen. Begitu juga Indra. Bahkan dalam
perhelatan kedua tim, Dilah dan Indra hampir sama sekali ndak terlibat. Pada akhirnya,
juara satunya Rahma dan Nursyidah runner-upnya. Hmmm,
Pak Prabowo, Pak Hatta, Pak Jokowi, dan Pak JK, please, jangan tersinggung.
Setelah debat beres, slanjutnya ter-ter-an. Tenang, semua dapat gelar. Dan
aku tak begitu terima hari itu, aku dinobatkan sebagai mahasiswa terlucu. Entah memang seperti itu? Aku tak begitu yakin.
Tau tidak? Ada yang sebenarnya
seru. Seru dan sangat seru. Kak Fajar menyelipkan game di antara dua agenda itu. Gamenya
begini, setiap diri dari kami mesti siapkan selembar kertas. Terus, kami semua
membentuk lingkaran, dan setiap diri dari kami membelakangi dan dibelakangi,
pundak jadi penopang tuliis buat teman yang terbelakangi.
Kami ikuti instruksi Kak Fajar.
Pertama, semua tulis nama lengkap di bagian footer
kertas. Selanjutnya, gilir kertasnya secara teratur. Di setiap penggiliran,
semua wajib tulis sifat atau sikap untuk sosok yang namanya tertera di footer kertas, ndak boleh lebih dari tiga kata, Kak Fajar bilangnya begitu. Digilir
terus, sampai kertas itu kembali ke pemiliknya.
Setelah di tangan pemilik
kertasnya, banyak tentang gambaran diri pemilik kertas. Ada yang menaggapinya
dengan penuh sikap narsis, ada yang merasa berlebihan, ada yang marah, sedih
dan biasa-biasa saja. Aku sendiri awalnya merasa biasa-biasa saja.
Sepulang dari benteng itu, kami
segera ka kampus. Karena hari ini hari Jumat dan sudah hampir waktunya, kami
laki yang muslim menepi ke sebuah mesjid di perjalanan pulang sebelum ke
kampus.
Di kampus, kelas begitu ramai.
Masih tentang kertas yang penuh komentar tadi. Banyak yang saling mengungkap
apa yang ada di dalam kertas, bahkan saling bertukar. Banyak hal yang begitu
sensitifnya menghadirkan tawa kami.
Bagaiman dengan kertasku? Yah, semanjak di benteng dan di kelas,
tak ada yang tahu isinya selain aku. Diri merasa sungkan untuk diketahui yang
lain. Ada beberapa teman yang begitu penasarannya, tapi tetap tak
kuperlihatkan. Aku kira tak ada yang begitu berarti di kertas itu, aku malu
saja kalau sampai teman tau beberapa komentar yang menggelikan. Malamya, aku
perhatikan dan memikirkannya baik-baik. Kesalahan besar jika kuanggap ini biasa
biasa saja. Benar, seperti yang sebagian dari kami katakan. Interopeksi diri,
bisa kita mulai dari sini. Mulai dari hal negatif yang sering ku perbuat dan tak usah aku sebutkan di sini,
sampai hal positif yang menurutku sedikit lebai. Satu yang ingin kusebutkan, ‘berani’.
Kata ini yang terpositif untukku, yang kutemui di kertas milikku. Entah dari
siapa. Yang jelas, terima kasih.
555