Senin, 30 Juni 2014

Sehari Terakhir di 27 Juni



Instrumen musik begitu kerasnya terdengar pagi ini, tubuhku yang masih doyan memanjakan diri di atas kasur (sambil memeluk guling), sontak merasa tak nyaman lagi dalm kondisi itu. Suara yang terdeteksi telingaku itu, tak seperti kemarin-kemarin yang bisa kuabaikan saja jika dalam kondisi yang sama.

Tadi malam, sudah kupikirkan matang-matang, bangun lebih pagi hari ini. Yah, kalo sebelumnya aku bangun setengah delapan dan telat masuk ke kelas akhirnya, hari ini aku ingin bangun lebih pagi memang, minimal setengah tujuh lah. Satu jam lebih awal.

Semalam, sudah kupasang alarm di smartphone dan handphoneku. Enam lebih dua puluh lima menit yang ku pasang. Nadanya memang kuganti dari biasanya, kupikir yang sebelumnya masih terlalu slow. walau sebenarnya, tetangga kamarku bilang, yang kemarin itu alarm ku sangat membantu membangunkannya. Entahlah, apa aku yang punya telinga kurang peka? Atau telinga tetanggaku itu yang terlalu sensitif? hmmm...

Iya, kupaksakan diri bangun setelah mendengar alarm nan super nyaring itu. agak telat sih, tujuh menit dari jam yang ku pasang. Aku langsung ingat agendaku hari ini yang mesti lebih pagi. Aku harus ke Benteng Rotterdam. Benteng Rotterdam merupakan salah satu bangunan tua dan juga benteng peninggalan Belanda di zaman kolonial di Makassar, kini jadi perpustakaan kota. Aku harus kesana pagi ini, ada agenda pertemuan terakhir buat salah satu mata-kuliahku. Aku ketua tingkat di kelas, dan kemarinnya sudah ada janji dengan Kak Fajar, dosen mata kuliahnya. Kami lebih sering mengimbuhi namaya dengan 'Kak', salah satunya karena dia memang muda, dekat dengan kami, dan sedikit tampan. Kak Fajar juga merasa nyaman dengan panggilan itu, dia sendiri yang minta itu dari awal perkenalannya di semester satu. pokoknya, kami dekat. Titik!

Cepat-cepat selimut dan ranjang ku rapikan, maklum anak kos. Segera kuguyur badan dengan beberapa gayung air, dan buru-buru kunikmati bumbu-bumbu mandi. Pakaian sudah rapi di badan, dan Let's go! Waktunya ke kampus. Sudah kesepakatan kemarin, kumpul di kampus terus ke tempat agenda, Benteng Rotterdam.

Rencana keberangkatan dari kampus terbilang sangat molor. Sebelumnya terencanakan sudah ada di tempat agenda pas jam delapan, tapi malah berangkatnya jam sembilan.

Di Benteng Rotterdam, ada rangkaian kegiatan yang telah kami bicarakan sebelumya dengan Kak Fajar. Penentuan juara pertama, kedua dan ketiga debat dan juga ada pemberian gelar ter-ter-an buat semua mahasiswa yang sekelas denganku. Debat, berlangsung biasa-biasa saja. Tim Winda jadi juara tiga, kalahkan tim ku dalam perebutan juara tiga. Topiknya, Winda mesti pertahankan argumen kalau Spanyol berpeluang besar jadi jawara ajang sepak bola sedunia di musim ini, sedangkan aku mesti bela-belain Belanda yang tak begitu ku kenali, aku memang tak begitu suka dengan menonton sepak bola, tak seperti Winda.

Juara satu dan dua diperebutkan tim Rahma dan Nursyidah. Lumayan seru di steep ini. Topiknya tentang calon persiden. Rahma untuk Prabowo-Hatta –Pasangan Prabowo dan Hatta-, sementara Nursyidah untuk Jokowi-JK –Pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla-. Kenapa seru? Lebih pantasnya, lucu. Dilah yang setim dengan Rahma dan Indra yang setim dengan Winda, di dunia nyata, sebenarnya tak suka dengan tokoh yang mesti dibela, justru sebaliknya. Imbasnya, Dilah yang harusnya terlihat meyakinkan membela Prabowo-Hatta, rada ndak ikhlas berargumen. Begitu juga Indra. Bahkan dalam perhelatan kedua tim, Dilah dan Indra hampir sama sekali ndak terlibat. Pada akhirnya, juara satunya Rahma dan Nursyidah runner-upnya.  Hmmm, Pak Prabowo, Pak Hatta, Pak Jokowi, dan Pak JK, please, jangan tersinggung.

Setelah debat beres, slanjutnya ter-ter-an. Tenang, semua dapat gelar. Dan aku tak begitu terima hari itu, aku dinobatkan sebagai mahasiswa terlucu. Entah memang seperti itu? Aku tak begitu yakin.

Tau tidak? Ada yang sebenarnya seru. Seru dan sangat seru. Kak Fajar menyelipkan game di antara dua agenda itu. Gamenya begini, setiap diri dari kami mesti siapkan selembar kertas. Terus, kami semua membentuk lingkaran, dan setiap diri dari kami membelakangi dan dibelakangi, pundak jadi penopang tuliis buat teman yang terbelakangi.

Kami ikuti instruksi Kak Fajar. Pertama, semua tulis nama lengkap di bagian footer kertas. Selanjutnya, gilir kertasnya secara teratur. Di setiap penggiliran, semua wajib tulis sifat atau sikap untuk sosok yang namanya tertera di footer kertas, ndak boleh lebih dari tiga kata, Kak Fajar bilangnya begitu. Digilir terus, sampai kertas itu kembali ke pemiliknya.

Setelah di tangan pemilik kertasnya, banyak tentang gambaran diri pemilik kertas. Ada yang menaggapinya dengan penuh sikap narsis, ada yang merasa berlebihan, ada yang marah, sedih dan biasa-biasa saja. Aku sendiri awalnya merasa biasa-biasa saja.

Sepulang dari benteng itu, kami segera ka kampus. Karena hari ini hari Jumat dan sudah hampir waktunya, kami laki yang muslim menepi ke sebuah mesjid di perjalanan pulang sebelum ke kampus.

Di kampus, kelas begitu ramai. Masih tentang kertas yang penuh komentar tadi. Banyak yang saling mengungkap apa yang ada di dalam kertas, bahkan saling bertukar. Banyak hal yang begitu sensitifnya menghadirkan tawa kami.

Bagaiman dengan kertasku? Yah, semanjak di benteng dan di kelas, tak ada yang tahu isinya selain aku. Diri merasa sungkan untuk diketahui yang lain. Ada beberapa teman yang begitu penasarannya, tapi tetap tak kuperlihatkan. Aku kira tak ada yang begitu berarti di kertas itu, aku malu saja kalau sampai teman tau beberapa komentar yang menggelikan. Malamya, aku perhatikan dan memikirkannya baik-baik. Kesalahan besar jika kuanggap ini biasa biasa saja. Benar, seperti yang sebagian dari kami katakan. Interopeksi diri, bisa kita mulai dari sini. Mulai dari hal negatif yang sering ku  perbuat dan tak usah aku sebutkan di sini, sampai hal positif yang menurutku sedikit lebai. Satu yang ingin kusebutkan, ‘berani’. Kata ini yang terpositif untukku, yang kutemui di kertas milikku. Entah dari siapa. Yang jelas, terima kasih.

555

Rabu, 25 Juni 2014

Kenapa Harus '25' ?

Apakah ada arti untuk setiap angka yang kau temui di saat-saat tertentu?
Seberapa penting angka itu?
Selama apa angka itu begitu berarti untukmu?
Benarkah?
-----------------------------------------------------------------------
Angka 25 atau 'dua puluh lima', aku suka itu. Ya, aku suka. Tak ada alasan spesial untuk ini, aku suka saja.

Sewaktu kecil, sejak usiaku kira-kira 4 tahun,  aku tertarik sama yang namanya angka. Namanya juga anak kecil, kalau dapat pensilnya kakak, ditambah bukunya juga, sudah deh, coretannya bakalan ada di sana-sini. Pas bukunya diliat kakak, pasti diomeli habis-habisan. Seperi biasa, ibu jadi langganan pelaporan. Tau tidak? Aku selalu aman-aman saja, aku kan masih kecil sementara kakak sudah duduk di kelas satu sekolah dasar, jadi ibu selalu memberikan pembelaan untukku. Hehe, cerita ini juga diceritakan kakakku. Yah, kakak tidak dendam kok, kami sering tertawa mengulang cerita ini. 

Tidak sampai disitu saja, incaranku bukan cuma pensil atau pulpen. Di halaman rumah, ada sedikit tumpukan pasir. Kalau ibu lagi sibuk-sibuknya urus kerjaan di rumah, sering-sering aku terlantar beberapa saat. Sudah, kuhibur diri dengan berbagai permainan. Pasir ada di depan rumah, dan pintu terbuka lebar. Yahooo! Mari kita berpasir ria. Kubentuk pasir dengan berbagai bentuk, sedikit ndak karuan sih bentuknya. Maklum, masih empat tahun. 

Ibu belum juga mencariku. Di sela-sela waktu bermain, kudapati sebatang kayu di sebelahku, tergeletak di atas hamparan pasir. Dan sepertinya menarik. Layaknya Pensil atau pulpen, kujadikan alat tulisku, dan kali ini, pasirlah bukunya. Hmmm, permainan yang menarik dan tak perlu bikin kakak jadi bermarah ria. Hehe, tapi ndak kepikiran begitu juga sih hari itu. sekali lagi, namaya juga anak-anak. Yah, anak-anak lagi.

Baru aku menulis huruf 'A', di telingaku sudah terdengar gemuruh kaki dengan tempo yang begitu cepat, sepertinya itu ibuku. Tanpa ocehan sedikit pun, seluruh badanku dilarikan ke kamar mandi dan diguyur air, mandi. Seluruh tubuhku di perhatikan sedetail mungkin, mulai dari ujung kepala, sampai pada ujung kuku kaki. Ibu memastikan tak ada sebutir pun pasir yang hinggap di tubuhku, itu semua karena ayah tak suka kalau anak-anaknya bermain tanah ataupun pasir.

Tahu tidak? Sepulang kerja, ayah selalu mengajariku tentang huruf dan angka. Sampai kepada membaca dan berhitung. Aku sudah sedikit terampil menjumlahkan angka sederhana di usiaku itu. 

Ada hari, ketika kudapati tas kerja ayah, ku pretelin deh sana-sini. Tak ada pensil, pulpen, ataupun buku. Tapi, aku dapati benda yang begitu asing untukku. bentuknya persegi panjang dengan beberapa tonjolan elastis ketika di tekan. Tibah-tiba ibu datang, dan menegurku sebentar. Isi tas dimasukkan kembali. Tapi ibu baik, ia menyisakan benda asing itu di tanganku, lantas mengajariku sesuatu. Mulai dari menekan, dan melihat layarnya yang agak pendek nan memanjang. Katanya, yang elastis itu adalah tombol. Benda asing itu, ibu bilang itu kalkulator. 

Ibu menjelaskan panjang lebar tentang cara pakai dan fungsi setiap tombol. Tetap aku belum begitu paham, tapi juga ndak merasa perlu komplain. Hari itu, mataku hanya tertuju pada keunikan tombol yang elastis dan layarnaya, bagiku luar biasa. 

Ibu melanjutkan kerjaannya, tas ayah ditempatkan ke tempat yang menurutnya tak bisa lagi dijangkau ku. Kalkulator masih di tangan, dan kulanjutkan rasa penasaranku tadi, Kutekan sana sini, entah  yang kutekan tombol apa, yang jelas ku tekan saja. Yang kulihat di layar mininya, ada angka yang muncul untuk beberapa tombol yang ku tekan. 

Sampai pada saatnya, aku memperhatikan dua angka yang begitu mirip, antara angka begini '2' dan begitu '5'. Sontak aku lupa membedakannya, yang mana dua dan yang mana lima. Kutekan bergantian secara berulang, masih juga belum aku ingat. soalnya, di kalkulator, ndak ada huruf yang bengkok tuh. Bikin bingung. Tapi, ada satu hal yang menarik untukku, kala ku tekan angka '2' dan '5' secara bergantian, terbentuk motif yang unik bagiku. '252525252525', simpelnya '25', motif yang terbentuk mirip gelas berkaki satu yang dibolak-balik. Lucu saja untukku, entah lucu dari sisi mananya. Mungkin aku takjub. Aku Tertawa kegirangan dan terus saja menekan kedua angka itu bergantian, aku merasa senang. Tanpa ku tahu, ternyata suara tawaku mengundang ibu, ayah, dan kakakku menghampiriku. Sebelumnya, mereka lagi asyik-asyiknya nonton sinetron. Kukira mereka akan memarahiku dan segera memasukkan ku dalam ayunan, dipaksa tidur. Tapi, ternyata tidak. Mereka ikut duduk besamaku, sepertinya mereka begitu bahadia melihat keceriaanku. Ayah yang pertama menanya-nanyaiku tentang penyebab keceriaanku, dan kujawab dengan kalimat yang belum begitu lengkap, tapi dipahami mereka. Mereka pun memperpanjang cerita kala itu. Mungkin, yang dibicarakan adalah aku. Kakak ikut penasaran dengan 'si kalkulator', mencoba merebut, tapi tak kubiarkan. Aku punya senjata, adalah teriakan kesal, nangis. Kamu kalah kak. hehe.....

Berawal pada kejadian itu, aku suka dengan angka '25'. Untungnya, sekarang aku sudah bisa bedakan di kalkulator, kalo '2' itu dua dan '5' itu tiga. Hmm, tak ada alasan untuk menyukainya. Tak pantas kusebut itu hoki, bukan angka yang begitu sistimewa. Aku suka saja, tak ada alasan yang begitu mendalam. 

Memang, tak ada alasan. Tapi, jagad raya ini mesti tahu, aku membawa angka '25' dari hariku yang  lalu, yang penuh keceriaan, hingga kini. Aku berharap saja, semoga hari ini dan hari-hari berikutnya, aku bisa terus menemukan hari-hari yang ceria bersama keluargaku, teman, sahabat, dan siapapun yang selalu dan akan kutemui dalam hidupku.

555 

Sebelum Kau Bangun, Nak

Nak,
Nyenyaklah tidurmu, Nak
Biar kupastikan di sekitarmu tak ada nyamuk ataupun semut kecil yang mengusik nyenyakmu

Kau begitu menyenangkan hati, Nak
Di sepinggir bibirmu, kuperhatikan ludah-ludah mengering
Kau begitu lelap, Nak


Aku belum tidur, Nak
Disini terlalu banyak nyamuk yang harus, harus kuhindarkan darimu
Belum aku lalai
Tak kubiarkan seekor pun itu menikmati merahmu, Nak
Hinggap pun itu

Nak,
Aku ingin kau tetap begini, Nak
Janganlah kau terbangun meski ayam-ayam jantan telah menyambut pagi
Ku tak mau kau gelisah nak
Begitu banyak kabar tentang siang-siang yang serdadu dan pen-jas-jas torehkan di dalam hari kita
Kau cukup tidur, Nak

Sudahlah, Nak
Tak ada sempatmu untuk makan, aku yakin di dalam mimpimu ada banyak cerita tentang nirwana
Kau tak perlu makan, Nak
Lelap tidurmu tak mengisyaratkan kau lapar toh
Lagian, kau bisa singgah di antara mimpimu untuk sekedar makan di sana
Tak perlu kau bangun untuk sekedar makan

Sudah ku katakan, nak
Kau tak perlu bangun
Mengapa kau berhenti membiarkan ludahmu mengering di sepanjang bibirmu, Nak?
Jangan,Nak
Aku yakin di dalam mimpimu ada banyak makanan yang bisa kau makan, Nak
Aku sudah janjikan tak akan ada nyamuk ataupun semut

Selasa, 24 Juni 2014

MEMORIKU MEMORIMU : Nostalgia, Boleh Juga


Ndak perlu curiga, bukan? Kalau ada teman yang menunjukkan sikap menawan. Kalau sikapnya manis dan baik, mugkin saja ia memang baik atau ada udang di balik..... piring. Tentu bahagia punya teman yang sopan, suka humor juga baik hatinya. Apalagi kalau dia. . . . . . pokoknya sejuta rasa.

Tapi, aku sekarang lagi ngeri deh kalau menghadapinya yang selalu menunjukkan sikap manis, utamanya kalau dia seorang cewek. . . ndak nyindir nih! jangan salah dulu, sebelum kamu tahu persis kenapa aku menaruh curiga padanya yang slalu bersikap manis. Bukannya aku ndak mau tahu atau ndak ngerti berterima kasih, atauuu. . . juga bukan mau membalas air susu dengan air tuba. Bukan! Aku dididik orang tuaku untuk selalu bersikap baik kepada siapa saja. Didikan orang tuaku ini betul-betul mendapat perhatian dariku. Katanya, manusia itu mahluk yang mulia, ndak ada bedanya satu sama lain. Yang beda hanya sikapnya dan itulah yang utama. Dan katanya lagi, ndak ada orang yang bisa idup sendiri kamu pasti membutuhkn orang lain, apa lagi pada waktu senja di usia remaja. Jadi, setiap orang harus membalas kebaikan dengan kebaikan, tidak untuk sebaliknya. Kalau ada orang yang memberi kita keburukan, hal yang terbaik adalah kita harus membalasnya dengan membalas dengan memulai kebaikan.

Nah, nasehat orang tuaku baik, bukan? Ndak ada salahnya memang. Aku selalu mencoba bersikap hormat sama teman-teman. Buktinya punya banyak teman. Pendeknya menyenangkan, dari belajar bersama, ngobrol bersama, dan banyak lagi. Yang lebih menggembirakan lagi. Dengan cara itu, aku dapat memetik keuntungan, saling mengisi, saling memberi dan saling menerima, ini membwatku. . . . Yah, tentu merasa jadi baik lah. Bukankah keuntungan ini dari pergaulan yang luas? Jawabannya pasti iya, kan?

Diantara sekian banyak teman, ada seorang teman yang agak kuistimewakan. Cewek ini menarik dan baik. Dia paling sering datang ke rumah. Jadinya, ayah dan ibuku juga senang karena dia pandai mengambil hati. Operasi hati kali? Tapi beneran, loh! Maksudnya, dia itu pintar menarik empati orangtuaku, sip banget deh. Terus terang, aku juga membrikan perhtian khusus baginya karena dia dengan senang hati selalu menolongku saat aku perlu bantuan dan di kala gundah. Cieh-cieh, lebai banget. Oia, tanpa aku minta, dia selalu mengeluarkan jasa baiknya seperti sering melakukan apa aja dan rela berkorban demi aku dan banyak lagi. Pokoknya untuk aku, dia rela apa aja deh. Sampai-sampai teman-teman menyebutnya doiku!!

Anehnya, aku ndak marah, malahan senang. Sering juga aku membanggakan dia dihadapan orangtuaku. Sepintas ibu berkata, " Nah, rupanya anak kita ini sudah mulai jatuh cinta. Pak, ya?" Bapak cuma bisa tersenyum mengejek ke arahku, diriku yang dalam keadaan muka memerah dan agak cemberut juga. Biar begitu, aku juga bangga loh. . . Terlebih karena orangtuaku selalu biarkan kami ngobrol berdua setiap malam minggu.

Tapi, entah kenapa juga kebanggaanku jadi lenyap tiba-tiba. Sore itu, se-pulang nonton. Aku ingin cepat-cepat pulang, tidak seperti biasanya. Aku ndak menyangka sama sekali, dia yang biasanya sopan dan halus budi-bahasanya membisikkan sesuatu yang mengejutkan.
                                                                               555
                                                                          
Seperti yang diceritakan ISNAENI kepada TAWAF.

Air ?

Bulir
Air
Mengalir
Ke hilir

Deras
Keras
Menerpa batas

Jenuh
Keruh
Jenuh
Memusnah BATAS. . .

Banyak Kami dan Berlimpah Kalian

Kolosal, mengamuk diantara batu
Kontras dengan kesannya yang beralur
Berdiri di antara kami dan mereka

Aku, dia dan kamu adalah kami dan kalian
 

Enyahlah, smuanya enyahlah
Biarkan logika kami mengamuk di antara batu seperti yang pernah
Layaknya goresan di balik kanvas dengan abstrak
Dengan kuas usang titipan pribumi
Biarlah itu menjadi imaji
Dalam gurindam yang selalu meminta
Biarkanlah brjuta kami dan kalian tetaplah aku, dia dan kau juga

Di dalam rumah, kami menyatu dengan gorden-gorden jendela yang seraya berumpet dengan keumuman yang terjelaskan
 

Wah, wah, wah. . .
Sepotong suguhan, entah itu apa
Dan kami adalah kalian yang di dalamnya banyak kami, berjuta kau, berlimpah dia, dan aku

Minggu, 22 Juni 2014

Senja nan Basah

  
Bisikan-bisikan alam mulai membawa udara dingin
Kulit menggigil, segera kubalut diri dengan bulu domba
Seraya memandangi matahri yang semakin hanyut ditelan malam
Pupil mata ini semakin melebar, dan semakin ingin kupastikan bahwa disana, diatas sana, matahari hanya sekedar tenggelam, tak hilang

Benar, banyak cerita pasti yang kukhyayalkan hari ini
Entah saat ini kusebut petang atau malam
Yang ku tahu langit telah membiarkan matahari disembunyikan awan

Ada waktu ketika kutilang menyebrang di udara, atas kepalaku
Kudengar gesekannya dengan angin, tak lama suaranya memanggil namaku, mengundang petir
Sontak, kuingat Dandelion yang pernah tumbuh di tepian jalan yang kulalui tadi
Deandelion yang sepertinya kini lebih nyaman menata diri diatas pot-pot mewah
Ataukah mungkin aku yang kurang peduli di kemarau kemarin

Petir pengundang malam
Mendung mengundang senja
Butir-butir peminta payung kini mulai merasuk ke celah-celah bulu domba dan bajuku

Yang sudah tau kulitku begitu getarnya terbasahi
Senjaku basah
Senja nan basah, membuat rinduku menepi sesaat

Merentang Langit

(Coming soon)

24 Mawar Pink

(coming soon)

Aku, dan Seribu Lampu Jalan

(Coming soon)