Minggu, 22 Juni 2014

Kamuflase


Sudah kita tapaki tanah dengan beberapa langkah yang mengundang debu
Kala itu kemarau, jelas kita melihat debu-debu terusir angin dan migrasi ke celah-celah yang ada di setiap tubuh kita, kusebut itu rongga
Entah apa yang dicarinya

Sudah kukatakan bahwa di dalam badanku ini, tak akan tertemui tanah yang basah
Tak ada banyak air di dalam tubuhku
Bahkan, hujan pun tak pernah
Tak ada basah disini 
Tak ada basah yang mampu membuatmu tinggal lebih lama, debu

Di hari yang lain, kita memperhatikan tetali menari-nari bersama angin
Kau bertanya-tanya, bagaimana angin bisa membiarkan tali menari seindah itu?
Tadi, kau sempat kira itu bukanlah tali
Sampai kita berdebat, dan kubiarkan itu adalah tali
Dan akhirnya aku terbujukmu untuk menyangkal, biarlah itu bukan tali
Kukatakan, bukanlah tali

Banyak bab yang pernah kita baca bersama
Sampai kepada kursi-kursi yang pernah menopang pantat-pantat pendosa
Tak ada yang tahu tentang kursi apa yang kita singgahi
Aku pun lupa dan tak mau membiarkan imaji membiarkan ingat
Yang kita tahu, kita bersinggah di barisan kursi pendosa






Sabtu, 21 Juni 2014

KELIMA: Kota Kecil di Dalam Kotak





"Biarkan langit memendarkan mata, 
biarkan tangan menemani langit dan malam memeluk bumi. 
Tak ada sayap yang dijanjikan Tuhan untuk memastikan biru, 
dan mata sudah cukup jauh berbicara tentang langit.
Kita percaya itu."
-----------------------------------------------------------------------
  "Sudah berapa lama kau menengadah, melontarkan pandangan kepada warna yang tak pernah tersentuh kebiruannya?", kubicarakan dengan pikirku hari itu. Entah apa yang terpikirkan, hanya saja seolah material dunia mencoba mengantarkan mataku untuk merasakan kebiruan langit. Ah, itu bukan masalah. 

Iya, hari itu cerah kok. Tak bisa kupandangi mentari terlalu lama, sinarnya berusaha membuat mataku melek. Yang sempat kuprhatikan, mentari kala itu berbingkai awan-awan tipis, perlahan berjalan dan saling membiarkan angin membawanya kemana saja.

Cukup lama, dan kakiku spertinya lebih awal merasakan panasnya tanah. Cepat-cepat kuayungkan kakiku, sembari memperhatikan sekitar, kalau saja ada pepohonan rindang yang bisa melepas dahaga kakiku. Disana rupanya, tepat dibawah pohon rindang nan teduh, dan sepi. Yah, seperti yang kucari. 

“Han, kamu dari tadi kemana? Pak Dar tadi masuk kelas loh.”, Tan, teman kuliah Aku.

“Iya, Tan. Waduh, Kenapa ndak SMS ? Padahal, tadi sudah aku bilang. Lupa lagi, lupa lagi.”, Aku memberi respon.

“Iyya juga, sih. Maaf yah Tan.”

Tan, Si Rambut Kribo. Kulit nan hitam begitu mendukung kekriboannya. Sering-sering saja dia senang pas diteriaki “Mbah Regge”, apalagi cewek. Tan memang pendatang, semenjak dia memutuskan untuk kuliah di Makassar, ia bertemu Aku di program Studi Pendidikan Matematika Bilingual, Jurusan Matematika Universitas Negeri makassar. Nusa Tenggara, tepatnya Bima, menjadi tanah kelahiran Tan. Logatnya belum berubah, dan terkadang ketika bersuara di keramaian, ketegangan jadi hilang. Pernah ada hari, pas asyik-asyiknya rapat di sekretariat lembaga kemahasiswaan jurusan, Tan memberi tanggapan, tapi aku lupa apa yng lucu hari itu.

Tak banyak memang yang kuharapkan dari sobatku itu, Tan. Aku tau betul, Tan satu-satunya sahabatku selama melanjutkan pendidikan, sudah setahun lebih. Hanya saja, Aku sering-sering risih ketika berjalan dengannya. Bukan karena rambutnya yang kribo, bukan karena kulitnya nan hitam, dan bukan karena sosoknya yang kurus dan pekat, bukan itu. Hampir semua cewe yang ditemuinya di jalan diteriakinya, urusan kenal bukan masalah baginya. Aku selalu bawa masker untuk jalan bersamanya, tak mau menaggung malu untuk Tan. Haha... apa benar aku tak punya sedikit harga diri yang mampu digadaikannnya untuk Tan? Bukan itu, aku hanya tak mau meninggalkan Tan sendiri. Keberanianku adalah menemani Tan, sahabatku.

Kembali ke pertemuan aku dan Tan tadi. Kami menghabiskan waktu hingga bumi memeluk mentari petang itu. Banyak yang mereka bicarakan, mengenai aku yang begitu lamanya menengadah hari ini, dan juga Tan, dia berbagi tentang suasana di kelas di siang tadi. Malam memberi isyarat kepada kami untuk segera bergegas. Aku juga sepertinya sudah letih, kuajak Tan ke kos, kebetulan ada tugas dari Pak Dar yang bisa kami kerjakan malam nanti.

Tetang Pak Dar. Dia adalah sosok yang tegas, dosen kalkulus kami. Sering-sering aku mengelak darinya. Pernah aku menghadap di ruangannya, gara-gara sudah tiga kali tak mengikuti kuliahnya yang hanya 16 pertemuan. Aku sudah tau, setiap mata kuliah, kehadiran itu mesti 80 persen. Aku cuma malas, ketika di dalam kelas, harus berhadapan dengannya. Mungkin suaranya yang terlalu kecil, sampai-sampai pas kuliah, lebih sering aku mencari posisi yang menarik untuk menyatukan kelopak mata atas dan kelopak mata bawahkau sejenak. Tan dan banyak teman lainnya juga sering melakukan itu. Biasanya, kami saling bergiliran untuk kesempatan itu, ada jadwalnya juga malah. Si Monika, pernah kedapatan Pak Dar, dan sudah tak pernah masuk lagi. Terakhir kudengar hari itu, Pak Dar sudah jaminkan nilai Error. Lebih dalam lagi tentang Pak Dar, sebenarnya beliau lucu loh.

Kadang ia sibuk berceloteh hingga waktu pertemuan kuliah habis, dan banyak dari kami yang belum sempat dengar, suaranya kan tipis, alias kecil. Tapi, yang kuliahat selama ini, dia juga punya selera humor. Pernah aku terlambat, dan beliau mencoba mengibuliku dengan sedikit ejekan-ejekan, teman-teman begitu sumringahnya di depan kelas, sebagian bilang perutnya sudah mau bocor. Yah, mungkin saja Pak Dar berusaha terlihat lebih tegas di depan kami selama ini.

Bersambung>>
Maaf, mengenai judulnya kenapa begitu? dan terasa belum kena. Yah, niat penulis sampai kesana, tapi nanti yah. Hari ini hanya kuceritakan lebih banyak tentang mereka yang menurutku indah, dalam dunia fiksiku. Tapi judulnya sudah pas loh (^_^). Ada KEEMPAT yang skip dulu. Disana ada caerita yang lebih kompleks, tapi nanti publishnya. maaf belum terlalu memuaskan, dengan paras bahasaku yang tak lebih dari sekedar gumaman.

  

Rabu, 18 Juni 2014

Sore Kita (Belum Lagi Aku Melihat, Sudah Kudapati)

Sudah ada tangkai di atap rumahmu
Ya, Kemarin gugur tersapu angin
Tak perlu khawatir, kita sama-sama meyakini, rumahmu beratapkan genteng
Dan apalah gunanya kuberitahu semua orang tentang tangkai itu
Ya, tidak seindah ketika kukatakan ada kupu-kupu yang memekarkan tamanmu
Dan kita tau, itu hanya tangkai
Tak begitu membebani atap nan genteng

Masihkah kita ingat?
Ketika hari ditutup senja dan kau pun memintaku membuang awan hitam yang sebenarnya malam

Tak perlu kita ingat, memamg
Biarkanlah gundah melawan semu yang menggerogoti leher dengan semut
Tak perlu kita tanyakan kepada penjaga taman ingatan
Sebenarnya itu hanya lupa yang ingat ketika kepala membentur pasir

Hei, kita
Kau tak pernah tahu seberapa sering aku mengulang hari yang ditutup seja, sendiri
Tapi jariku teramat terbatas untuk merangkai hitungan hari

Tak lagi kita

Senin, 16 Juni 2014

Temui Aku di Dalam Bola

Tak perlu menerobos hujan
Cukup membawaku dalam genggammu setiap saat
Aku janjikan pemain nan handal, yang akan kau temui di garis batas
Tak usahlah berlemah lembut
Kau sudah lembut
Cukup membawaku dalam genggammu setiap saat

Minggu, 15 Juni 2014

Memanjati Langit

Ialah jemari yang menggelitik tanah dan pasir-pasir di dalam karung berkerut
Ialah telinga-telinga yang mencari suara-suara buram yang pernah diikrarkan kecapi tanpa senar
Ialah mata-mata yang menyusuri jejak-jejak waktu yang terasing
Ialah lidah-lidah yang mengutarakan kemenangan di dalam ruang tak berongga
Ialah hidung-hidung tunanetra yang meraba-raba udara
Ialah cerita yang ada di dalam tidurku kemarin malam
Ialah mimpi

Kudengar, ada secuil rindu yang kau tanam di antara akar edelweis
Kudengar, kupu-kupu selalu hinggap di atasnya
Selalu kudengar, ada sosok di sana, yang sering memberi setetes air mata
Apakah itu dirimu, Manis?
Yah, Apa dirimu?
Benarkah dirimu?

Sudah kau tahu, Manis
Aku ini pemudar gulamu
Aku ini pemendung matamu
Sudah kau tahu itu, Manis!

Tidakkah kau kecup lidah-lidah tetangga yang memainkan kecapi tanpa senar?
Kita sama-sama tergelitik, Manis
Maukah kau biarkan matamu luka dengan tamparku?
Biarlah, manis
Biarkan aku menamparmu hingga tergeletak di sumur Zam-zam

Berhentilah, Manis
Tak usah kau mengandalkan hidungmu mencari jejak hitam di tengah gelap

Kau Manis, dan biarlah aku Pahit
Kumau kau tetap manis
Janganlah aku memudarkanmu dalam adukan kita, Manis



Mengintip Rindu

Pesona matamu menerobos sela-sela duniaku
Jelas kulihat malaikat mengawal rindumu
Terlalu banyak hari memang yang kita abaikan untuk sekedar bergurau dengan diri
Terlalu banyak cerita memang yang belum sempat tertoreh dalam layar kita
Tak apalah

Patung-patung di trotoar jalan sepertinya tahu kala kita memuja rindu
Diam-diam, mereka berbicara tentang langit-langit, lantai-lantai, dan dinding-dinding yang yang pernah kita rangkai, yang sempat terdengar dari pejalan kali
Terkadang aku malu melalui jalan yang berhunikan patung-patung

Sabtu, 14 Juni 2014

Berselimut Bulan

Malam ini dingin, dingin begitu dingin
Awan telah berlarlarian menaggalkan langit dalam telanjang
Lima lembar selimut kata, membalut pilu dalam hegemoni mimpi
Masih tak ada hangat yang terundang malam

Ah, inilah malam
Harusnya kulihat air yang memantulkan maya langit, indah
Harusnya tak kubiarkan diri ini tewas dalam dingin

Sesekali ada bulan dalam malam
Yah, kukatakan beberapa ayat nurani
Kubasahi malam dengan bulan
Dan ini akan sedikit hangat, lebih tak dinginlah
Memang, tak sehangat putihnya awan yang memberi janji kepada malam
Tak sehangat cahaya pagi yang nenekku bilang kala pagi
Ataukah api unggun kala ku kecil dan ditemani pak guru, Praja Muda Karana
Dengan bulan, aku tak butuh kehangatan lebih
Bulan
Saja

Terlalu Lama Sendiri

 "Aku sih cinta. Iya, cinta. 
Bukan karena tinta 
yang kutuangkan di bukumu kemarin. 
Iya, cinta tanpa alasan. 
bersembunyi disini,  
dari kejauhan. 
Tapi, 
sering kita dekat."


 Romantis. Bagaimana itu 'romantis'? Apa aku juga romantis? Entahlah. Teruntuk kepada hari-hariku yang tidak begitu dipanjangkan dengan cerita cinta, aku sering merindukan cinta. Terkadang kuspekulasikan cinta sebagai kata dengan makna bukan saling memilki, tak harus memiliki. Aku begitu lamanya sadar, ingin segera mengakhiri masa-masa sendiri.

555

Berlakon pada Nyata, Menjerit dalam Maya

Semua menjadi indah, yah, indah
Tabiat malam memberi rasa untuk bergairah mengumbar senyum
Hampir semua bunga yang tumbuh di baris pagar tahu, tentang sebuah cerita yang berkalut mimpi
Sekali lagi kuumbar senyum
Biarlah, kuumbar saja
Barangkali akan ada jodoh yang akan meminangku di hadapan senja
Membawa rohku bersanding di pelaminan nyata
Barangkali

Sepertinya diri ini terlalu menyuarakan siang, lupa malam menjelma siang menjadi hitam
Dan akan membawaku dalam lupa menatap benda
Ketika diam, dan menatap hitam, tak ada warna yang mampu termakan mata, hanyalah hitam

Ha Ha Ha
Biarlah ini menjadi kalut dalam kalbu
Sembari tangan tetap menepuk, tepat lima pasang jari
Biarlah malam menyembunyikan siang dalam kolam hitamnya

Tak perlu ada bibir-bibir yang berceloteh tentang kasihnya
Tak perlu ada cinta yang terucap, aku memahami cintanya
Sosokku semestinya beranjak dari pasar hati ini
Memikul selemari celana-celana dan baju-baju
Segera menuju barisan nyata yang kukira tak mempersoalkan hitamnya malam

Menjerit, ah, aku masih menjerit
Iya, menjerit
Aku harus masih tetap menjerit
Sembari kucari maya yang memberiku nafas untuk satu teriakan saja
Barangkali

Kamis, 12 Juni 2014

Setelah Hidupmu Lebih Romantis dari Sebuah Film


Refleks Ayu hari ini, dengan mimik ceria dengan mata yang tenang. Sepertinya hanya lelucun. Ayu, sosok dengan kaca mata di atas hidungnya, sekelas denganku.
"Bosan meka nonton kurasa, hmmm, ndak ada mi yang seru. "
"Setelah hidupmu lebih Romantis dari sebuah film, mungkin.", aku sekedar memberikan tanggapan. dan yah, suasana mulai terasa puitis. Kebetulan hari ini bukan cuma ada aku dan Ayu, tapi ada kami, aku dan teman-teman yang lain, di kelas.

 Bersambung>>