Rabu, 18 Juni 2014

Sore Kita (Belum Lagi Aku Melihat, Sudah Kudapati)

Sudah ada tangkai di atap rumahmu
Ya, Kemarin gugur tersapu angin
Tak perlu khawatir, kita sama-sama meyakini, rumahmu beratapkan genteng
Dan apalah gunanya kuberitahu semua orang tentang tangkai itu
Ya, tidak seindah ketika kukatakan ada kupu-kupu yang memekarkan tamanmu
Dan kita tau, itu hanya tangkai
Tak begitu membebani atap nan genteng

Masihkah kita ingat?
Ketika hari ditutup senja dan kau pun memintaku membuang awan hitam yang sebenarnya malam

Tak perlu kita ingat, memamg
Biarkanlah gundah melawan semu yang menggerogoti leher dengan semut
Tak perlu kita tanyakan kepada penjaga taman ingatan
Sebenarnya itu hanya lupa yang ingat ketika kepala membentur pasir

Hei, kita
Kau tak pernah tahu seberapa sering aku mengulang hari yang ditutup seja, sendiri
Tapi jariku teramat terbatas untuk merangkai hitungan hari

Tak lagi kita

Senin, 16 Juni 2014

Temui Aku di Dalam Bola

Tak perlu menerobos hujan
Cukup membawaku dalam genggammu setiap saat
Aku janjikan pemain nan handal, yang akan kau temui di garis batas
Tak usahlah berlemah lembut
Kau sudah lembut
Cukup membawaku dalam genggammu setiap saat

Minggu, 15 Juni 2014

Memanjati Langit

Ialah jemari yang menggelitik tanah dan pasir-pasir di dalam karung berkerut
Ialah telinga-telinga yang mencari suara-suara buram yang pernah diikrarkan kecapi tanpa senar
Ialah mata-mata yang menyusuri jejak-jejak waktu yang terasing
Ialah lidah-lidah yang mengutarakan kemenangan di dalam ruang tak berongga
Ialah hidung-hidung tunanetra yang meraba-raba udara
Ialah cerita yang ada di dalam tidurku kemarin malam
Ialah mimpi

Kudengar, ada secuil rindu yang kau tanam di antara akar edelweis
Kudengar, kupu-kupu selalu hinggap di atasnya
Selalu kudengar, ada sosok di sana, yang sering memberi setetes air mata
Apakah itu dirimu, Manis?
Yah, Apa dirimu?
Benarkah dirimu?

Sudah kau tahu, Manis
Aku ini pemudar gulamu
Aku ini pemendung matamu
Sudah kau tahu itu, Manis!

Tidakkah kau kecup lidah-lidah tetangga yang memainkan kecapi tanpa senar?
Kita sama-sama tergelitik, Manis
Maukah kau biarkan matamu luka dengan tamparku?
Biarlah, manis
Biarkan aku menamparmu hingga tergeletak di sumur Zam-zam

Berhentilah, Manis
Tak usah kau mengandalkan hidungmu mencari jejak hitam di tengah gelap

Kau Manis, dan biarlah aku Pahit
Kumau kau tetap manis
Janganlah aku memudarkanmu dalam adukan kita, Manis



Mengintip Rindu

Pesona matamu menerobos sela-sela duniaku
Jelas kulihat malaikat mengawal rindumu
Terlalu banyak hari memang yang kita abaikan untuk sekedar bergurau dengan diri
Terlalu banyak cerita memang yang belum sempat tertoreh dalam layar kita
Tak apalah

Patung-patung di trotoar jalan sepertinya tahu kala kita memuja rindu
Diam-diam, mereka berbicara tentang langit-langit, lantai-lantai, dan dinding-dinding yang yang pernah kita rangkai, yang sempat terdengar dari pejalan kali
Terkadang aku malu melalui jalan yang berhunikan patung-patung

Sabtu, 14 Juni 2014

Berselimut Bulan

Malam ini dingin, dingin begitu dingin
Awan telah berlarlarian menaggalkan langit dalam telanjang
Lima lembar selimut kata, membalut pilu dalam hegemoni mimpi
Masih tak ada hangat yang terundang malam

Ah, inilah malam
Harusnya kulihat air yang memantulkan maya langit, indah
Harusnya tak kubiarkan diri ini tewas dalam dingin

Sesekali ada bulan dalam malam
Yah, kukatakan beberapa ayat nurani
Kubasahi malam dengan bulan
Dan ini akan sedikit hangat, lebih tak dinginlah
Memang, tak sehangat putihnya awan yang memberi janji kepada malam
Tak sehangat cahaya pagi yang nenekku bilang kala pagi
Ataukah api unggun kala ku kecil dan ditemani pak guru, Praja Muda Karana
Dengan bulan, aku tak butuh kehangatan lebih
Bulan
Saja

Terlalu Lama Sendiri

 "Aku sih cinta. Iya, cinta. 
Bukan karena tinta 
yang kutuangkan di bukumu kemarin. 
Iya, cinta tanpa alasan. 
bersembunyi disini,  
dari kejauhan. 
Tapi, 
sering kita dekat."


 Romantis. Bagaimana itu 'romantis'? Apa aku juga romantis? Entahlah. Teruntuk kepada hari-hariku yang tidak begitu dipanjangkan dengan cerita cinta, aku sering merindukan cinta. Terkadang kuspekulasikan cinta sebagai kata dengan makna bukan saling memilki, tak harus memiliki. Aku begitu lamanya sadar, ingin segera mengakhiri masa-masa sendiri.

555

Berlakon pada Nyata, Menjerit dalam Maya

Semua menjadi indah, yah, indah
Tabiat malam memberi rasa untuk bergairah mengumbar senyum
Hampir semua bunga yang tumbuh di baris pagar tahu, tentang sebuah cerita yang berkalut mimpi
Sekali lagi kuumbar senyum
Biarlah, kuumbar saja
Barangkali akan ada jodoh yang akan meminangku di hadapan senja
Membawa rohku bersanding di pelaminan nyata
Barangkali

Sepertinya diri ini terlalu menyuarakan siang, lupa malam menjelma siang menjadi hitam
Dan akan membawaku dalam lupa menatap benda
Ketika diam, dan menatap hitam, tak ada warna yang mampu termakan mata, hanyalah hitam

Ha Ha Ha
Biarlah ini menjadi kalut dalam kalbu
Sembari tangan tetap menepuk, tepat lima pasang jari
Biarlah malam menyembunyikan siang dalam kolam hitamnya

Tak perlu ada bibir-bibir yang berceloteh tentang kasihnya
Tak perlu ada cinta yang terucap, aku memahami cintanya
Sosokku semestinya beranjak dari pasar hati ini
Memikul selemari celana-celana dan baju-baju
Segera menuju barisan nyata yang kukira tak mempersoalkan hitamnya malam

Menjerit, ah, aku masih menjerit
Iya, menjerit
Aku harus masih tetap menjerit
Sembari kucari maya yang memberiku nafas untuk satu teriakan saja
Barangkali

Kamis, 12 Juni 2014

Setelah Hidupmu Lebih Romantis dari Sebuah Film


Refleks Ayu hari ini, dengan mimik ceria dengan mata yang tenang. Sepertinya hanya lelucun. Ayu, sosok dengan kaca mata di atas hidungnya, sekelas denganku.
"Bosan meka nonton kurasa, hmmm, ndak ada mi yang seru. "
"Setelah hidupmu lebih Romantis dari sebuah film, mungkin.", aku sekedar memberikan tanggapan. dan yah, suasana mulai terasa puitis. Kebetulan hari ini bukan cuma ada aku dan Ayu, tapi ada kami, aku dan teman-teman yang lain, di kelas.

 Bersambung>>

Rabu, 11 Juni 2014

Tentang Lingkaran


Berawal dari sepercik tinta, merangkai tetitik
Membentang panjang dengan kemiringan berirama
Menopang sudut geometris, begitu rapi
Teratur....
Tak seperti dongeng kemarin lusa
Tepat saat kakek membacakannya
Tak seperti dongeng kemarin lusa
Menciptakan kebohongan diantara keinginan kami tidur
Tak seperti itu
Bermula dari satu langkah
Berbaris memanggil nostalgia
Tak ada awal yang mampu memberi tanda mulainya
Akhirnya pun tak terdefinisi memori alam
Kadang, air membantu tanah, tanah membantu udara, udara membantu angin, untuk berhembus lega
Tetap saja fana
Titik-titik itu ramai
Gugusan rapi yang mengacu pada satu titik
Tak ada yang tau titik yang mana yang memulainya
Meski sebenarnya, titik akhirlah yang memulainya

Di(antara) Cermin

Dua tongkat, diantaranya ada barisan imaji
Seakan mendongenkan kenyataan
Memanipulasi saraf sensorik dengan makna kontradiksi
Nengadirkan ribuan imaji di antara dua tembok
Tembok lapis baja
Tembok lapis beton
Tembok lapis kasur
Tembok lapis kertas
Semakin menipis

Memang, semakin menipis bagi mereka yang tak mampu atau belum mampu memanipulasu saraf sensorik

Bayangannya bergerak
Adalah langkah merdeka, kejujuran
Menertawai kenyataan yang berdiri bungkuk di hadapannya
Sayang, kenyataan tak pernah tau jika dunia khayal menertawainya
Menertawai kemalasannya menempuh ruang
Seperti bukan malas
Hanya saja memang tak mampu
Kawan imajinya pun semakin tertawa

Tiap kali berdiri di depan cermin, ada sosok yang mampu nenelusuri dunianya
Seperti prosa, puisi, atau dongeng
Tapi bukanlah itu
Sosok itu mengelabui waktu
Seakan anak kecil yang bermain karet
Yang belum mengerti, karet itu bisa putus