Rabu, 11 Juni 2014

Ketika


Seputar bola jalanan
Langkahku berputar, memendar, dan tak ada kosakata untuk henti
Trauma tak mampu memberiku henti di lampu merah
Yang ada kini, bunga yang semakin mekar, tak mengering
Ciptakan damai
Dan terasa oleh kulitku
Hari esok yang mungkin saja lebih menantang
Entah kumiliku bulu domba nan halus
Ataukah bulu duri laut yang menyakitkan luka dengan asinnya

Senin, 09 Juni 2014

Sempat (Di Bawah) Mendung


Sempat kutatap dirimu pada melati
Baunya begitu merbak menggetarkan telingaku
Sempat kulihat dirimu pada daun mimpi
Melekat kukuh pada tangkai usang

Yah, sempat
Sempat aku melihat
Pada bulan yang menyambangi malam
Dan aku malam, malam yang malang
Telah kusorakkan ini di setiap persimpangan jalan yang kulalui
Dan seperti tak ada yang terjadi
Semua membisu
Di sana hanya ada ikan-ikan kering tak berpemilik dan aku
Kubariskan cerita tentang melati, daun, malam dan pasar dalam imaji kemurnian
Sudahlah, mungkin ada mimpi di bawah mendung

Ma Ma



Hening, tak ada cerita untuk hari ini
Semua cukup memahami saja
Memahami tentang pagi tanpa fajar
Gelisah memang
Ketika pagi ini kujumpai pagi yang kelam
Seolah tak ada yang membedakannya dengan malam namun tak berbulan
Ma Ma
Ma Ma, Ma Ma
Suara kecil memuja kata dalam dago jiwa
Yah, tak ada ruang untuk meminta Tuhan menghadirkan ramah
Ini bukan tentang damai
Tentang sebuah nilai
Ma Ma
Adakah sela sela malam atau bahkan pagi yang mampu menarikmu keluar dari khayalku?
Adakah cara Tuhan mebiarkanmu jadi nyata?
Pagiku, kau begitu kejam tanpa fajar
Ma Ma ku senja, dan telah terenggut malam, kemarin

Minggu, 08 Juni 2014

Dialektika Minggu Sore


Hari ini
Setangkai sudut kecil menjadikan dudukan yang menarik untuk sosokku
Ada angin kecil disini, di selokan ada air mengalir disela batu dan sampah
Aku baru duduk disini
Dan sepertinya aku suka

Seolah Tuhan menitipkan (mata) milikNya
Aku bisa merasakan angin disini, dan ada selokan
Ada gugus bukit menjajar disini, tak terlalu tinggi
Seperti yang kukatakan, ada angin disini
Angin musiman yang reda kala tak ingin mengusik sesama sosokku
Ada 10 tiang bendera disini
Angin selalu jail mengusiknya
Mencoba merobek, tapi tak mampu
Angin memudarkan pesonanya
Ada banyak daun pisang disini
Juga terusik oleh angin
Dedaunnya telah sobek, perlahan tepiannya mengering
Mungkin tak ada jantung pisang lagi yang dijanjikannya
Ada tiang listrik menjulang tinggi dihadapanku

Besok, 9 Juni


La la la la la
La la la la
La la la
La la
La............. la
La la
La la la
La la la la
La la la la la

Terngiang sebuah lagu nirwana
Kala negara memberi sila, memberi limanya, seekor dasar
Bukan itu yang kumaksud
Aku ingin bercerita kepada sila tentang musim dalam nirwana
Aku belum kesana, namun ada nirwana yang bisa kusajakkan
Musim yang tenang

Selalu ada rindu kepada nanti
Sesaat dalam imaji, hadir beberapa langkah panjang yang mengantarkan kalbu kepada semi
Seolah tiba dimana rumput begitu lebat
Pepohonan memberi kisah tentang matahari yang tak pernah mengizinkannya meranggas
Jati mengatakan itu, sejati
Sudahlah Aku
Tak usahlah aku terlalu jauh melangkah
Aku saja berdiri disini, masih ada wadah kesejatian yang merambat
Sudahlah Aku
Apakah yang aku cari? Apa?
Aku, hei Aku. Kamu punya rasa kah Aku? Dasar Aku!
Tidak, bukan tentang diri yang melangkah
Ini adalah arti diri dalam rangka
Ada setangkai edelweis yang jadi penggadai rindu
Pernahkah orang-orang, binatang ataukah sejenis rumput memikirkan sebuah musim?
Weleh, ini Indonesia bung
Tak menyurutkan nafsuku
Akan kumatikan diriku dalam rebahan gembur
Membiarkan semua hari menyaksikan bulannya menahun
Dalam musim semi(ku)
 Makassar, 9 juni 2014

TENANG


Aku melihat malam
dengan tenang
Aku melihat malam
begitu tenang
Tenang

Jumat, 06 Juni 2014

Aku (Jikalau Sampai Waktuku)


Aku, jikalau sampai waktuku
Ada rindu untuk diri yang nanti
Entah ini adalah cermin khawatir
Ataukah mimpi untuk menang

Selasa, 03 Juni 2014

SELAYANG TARI


Mengalir konsistensi birama yang menggerogoti sensorik
Tertahan oleh tempo dalam kesetimbangan
Selaras dengan tungkai kaki dan tangan yang mengayun
Teucap setitik makna yang menggugah pesona
Menggugah rasa
Menggugah damai
Perlahan hening
Sejenak tertatap tiang-tiang penuh lukis nan kokoh
Ada seperangkat lantunan syahdu yang menggetarkannya
Sontak menyuarakan jiwa dengan tangan dan kaki-kakinya
Seolah tiada rasa yang lebih pantas dinikmati jalau itu bukan damai
Malam mulai hanyut dalam bisikan bulan yang kian bersembunyi
Seolah tak ada tanda kalau dia tak akan kembali esok
Yang kuyakini
Semua tiang-tiang, tangan dan kaki-kaki semakin tergetarkan
Sesekali tertatap tiang yang meratapi malam
Adalah pesona mengitari sekeliling pupilnya
Dan seringkali matanya merona
Memberi isyarat entah tetatih atau bahkan terbawa ke nirwana
Sudahlah
Yang ingin kutau hanyalah sebatang tiang yang berirama
Aku hanya ingin menggetarkannya dengannya tanpa belati, tanpa suara, atau apapun itu
Aku ingin menggetarkannya dengan tanpa apa-apa
Seperti bisikan bulan kepada malam yang menyenyakkannya
Semoga ada tangan, kaki-kaki dan tiang-tiang yang menggetarkan(nya)
Menjadi
Tari

"S"


Suatu hari, Tawaf yang  hampir berusia enam tahun, lagi diajak Tante-nya jalan2 ke toko buku matematika. Mereka lewat belakang, dan terlihat jelas,di belakang toko itu ada Kios Kecil,  menjual ES. Tiba2, "Tante, Tawaf mau ES. Tanteee, Tanteee....". Manja Tawaf.
"Sabar nak, mau berapa ? Tiga?", respon Tante.
"Satu saja, Tante. Kalau tiga, ya ndak usah beli. Nanti uang Tante terbuang percuma." Jawab Tawaf kecil yang masih polos.
"Jadi?", Kakek penjual ES bingung.
***

Dong Ding Dong


Dong
Gedung-gedung tinggi maha meninggi
Tanah semakin tak jelas, terkasatkan oleh bata
Apa mata ini yang semakin rabun?
Aku sangat yakin, belum cukup umur untuk rabun
Ding dong
Dinding menindih, menghalangi mata memandangi pepohon
Ding dong
Ding dong
Ding dong ding
Tak ada ding dong, tak ada suara camar
Gesekan karet hitam dan aspal kian terdengar soraknya
Ding dong ding
Ding ding dong
Ding dong
Ding