Apakah kita benar-benar sama-sama menunggu? Ataukah...,
Hanya pembenaran pada diri
yang terlalu akrab dengan gejala cinta?
Entahlah.
-----------------------------------------------------------------------
Kudapati kabar, guru Kewarganegaraan, Pak Rahman, tidak bisa masuk di kelas. Anaknya tiba-tiba demam
tinggi. Aku jelas tahu itu. Ya, karena aku adalah ketua kelas. Seperti biasa,
info itu kudapat setelah kucek kehadiran Pak Rahman di ruang guru.
Sebagian dari kami tampak lesu
*di kelas*. Tak ada lagi mata pelajaran hingga jam belajar berakhir. Seperti biasa,
kalau sudah begini, bukan cuma pemandangan muka lesu dalam penantian pulang
saja yang nampak. Ada juga beberapa pasang muka kegirangan, berpikir bahwa ada
waktu yang cukup untuk sekedar berbagi cerita dengan yang lain, selagi
menghilangkan sterss, karena baru saja pelajaran matematika berakhir.
Beberapa kaki-kaki melangkah ke
kantin beriringan pembicaraan tentang makanan yang akan mulut-mulut santap
bersama. Ada yang sekedar menghabiskan waktu untuk memandangi indahnya
pelataran sekolah di depan pintu kelas. Di dalam kelas, tersisa beberapa orang.
Ada aku dan beberapa teman. Di sudut belakang, kuperhatikan begitu riangnya
menyanyikan lagu-lagu yang lagi tren, diiringi gitar. Ya, begitu ributnya.
Kebetulan kelas sebelah juga tak ada guru. Sebenarnya, tak semudah itu
memainkan gitar di dalam kelas. Rikhno, si pemilik gitar butuh sedikit
perjuangan untuk menenggerkan gitar di dalam kelas. Pagi-pagi sekali Rikhno
mesti ke sekolah. Motor ia parkir di rumah teman yang tak begitu jauh dari
sekolah, dan lewat pagar belakang sekolah satu-satunya jalan yang pas buat meloloskan gitar.
Kenapa seperti itu? Ini sebenarnya
berawal dari kejadian dua minggu lalu. Salah satu seniorku mesti menelan ludah
dengan pahitnya ketika gitar kesayangannya beradu tangkas dengan tembok,
hancur. Pak Allim mengadunya dengan tembok tanpa ampun. Si senior memang salah.
Di kelas sebelah belajar agama, sementara di kelasnya dia begitu asyik
menggugah irama dengan pertemuan jejari tangan dan senar gitarnya. Katanya,
seniorku itu sempat menangis, dan herannya lagi semenjak ku tahu dia adalah
lelaki. Setelah kejadian itu, tak ada alasan lagi membawa gitar ke sekolah,
kecuali atas rekomendasi guru seni. Pak Alim adalah kepalah sekolah di sekolah
kami, dan tindakannya memang sudah wajar. Semua siswa di sekolah memang sudah
tau, Pak Alim adalah sosok yang bijak dan disiplin, kadang ia temperamen ketika
mendapati hal-hal yang menurutnya melanggar.
Di kelas, Rikhno dan beberapa
teman terus melanjutkan lagunya. Aku juga merasa tenang, karena suaranya memang
merdu. Apalagi kalau ada Dian seperti biasanya, pasti kolaborasinya lebih
mendamaikan hati mendengarnya. Sesekali kutegur jika suaranya kelewatan besar,
dan mereka paham. Aku bergabung sebentar, kuminta Rikhno memainkan gitarnya
untuk mengiringi lagi yang kuminta. Di ekskul, kami memang terbiasa sama-sama
dalam aktivitas ini, sambil menanti aktivitas mulai. Karena aku lebih memilih
devisi teater.
Masih di kelas, di sisi yang
lain, mataku tertuju pada beberapa teman perempuan membentuk melingkar, mereka
sepertinya membicarakan beberapa hal. Apa ya? Kulihat, sepertinya seru. Terlihat
dari raut wajah beberapa di antar mereka yang sesekali saling melempar senyum
dan tawa. Kusebut itu gosip.
Diantara semua kumpulan yang
mendadak terbentuk di kelas siang itu, perempuan-perempuan melingkar ini memang
tergolong paling ramai. Aku semakin penasaran, padahal ini harusnya wajar saja
ketika melihat beberapa perempuan sekedr berkumpul untuk membicarakan beberapa
hal yang sebenarnya tidak begitu penting, pikirku sebagai lelaki. Di sebelah
lain mataku memperoleh informasi bahwa sedikit dari kami juga menikmati siang
itu untuk sekedar tidur.
Aku senyum-senyum sendiri dan ada
kedamaian ketika menatap tawa dan canda memenuhi kelas. Aku senang saja, merasa
kelas kami dalam kondisi yang baik-baik saja, tidak ada masalah.
Ada saat, Itta, teman laki-lakiku
melintas di samping perempuan-perempuan melingkar itu. Satu di antara mereka
tiba-tiba menawarkan tempat duduk. Itta sempat merasa tak perlu saja melakukan
itu, tapi empat tangan yang menariknya duduk membiarkannya singgah sebentar.
Aku menguping, dan kudengar beberapa pertanyaan dilontarkan secara bergilir
oleh mereka ,si perempuan-perempuan melingkar. Beberapa pertanyaan dijawab
polos dan frontal oleh Itta. Semua tahu, Itta memang sudah seperti itu, tak
perlu malu mengatakan apa yang ada di dalam pikir. Sempat kudengar pertanyaan
tentang bagaimana wanita pujaan Itta. Itta menjawabnya seperti yang pernah ia katakan
padaku, Ia menyukai wanita yang fisiknya proporsiaonal, tidak begitu tinggi dan
tidak begitu kurus. Dan yang paling penting, tidak bawel dan berenergik.
Sepertinya Itta benar-benar serius mengatakan itu dulu. Aku tak begitu percaya
saat itu. Soalnya, ia bercerita dengan tampang dan logat yang kurang
meyakinkan, kukira ia hanya sekedar menghiburku kala itu. Yah, hari itu aku
bercerita tantang kegalauanku, tentang seseorang yang kukagumi.
Lama ia disana. Seperti
diinterogasi oleh polisi, sepertinya sikap polos dan kefrontalan Itta
tertangguhkan, sudah tak tahan dengan banyak pertanyaan yang mengerucut kepada
sang wanita idaman. Kulihat, beberapa kali ia memberi alasan untuk mengakhiri
pembicaraan, tapi sepertinya ia tak lolos. Lama sekali, ia terus diinterogasi.
Dan akhirnya, ia menemukan alasan untuk pergi. Kebelet pipis, katanya
pembicaraan tadi membuatnya sedikit
terangsang. Perempuan-perempuan melingkar yang tadinya masih memiliki
banyak pertanyaan untuk Itta, tiba-tiba saja urung dan berbalik niat. Itta di
usir, tapi dengan gaya kami, ada sedikit kelucuan saat mengusirnya. Sekali lagi,
gaya kami. Kami sudah terbiasa menyelesaikan segala sesuatu yang tidak disukai
dengan sedikit bercandaan, seperti ejekan saja. Kami tak saling mengatai dengan
wajah serius seperti yang ada di sinetron- sinetron, kemarahnnya sering kali
didampingi mata yang melotot dan backsound
nan menggertak. Kami lebih suka mewarnainya dengan beberapa tata-tawa kecil. Kami
tak mau ada yang tersinggung, walaupun cara ini masih sering saja membuat
beberapa diantara kami masih tersinggung.
Kuperhatikan kembai di dalam
ruangan. Rikhno dan beberapa teman masih sibuk dengan gitar dan suara-suara
mulut mereka. Beberapa teman sudah terbangun dari tidurnya, mingkin suara gitar
Rikhno tak begitu menyenyakkannya. Teman-teman yang tadinya menikmati pelataran
sekolah, sepertinya belum masuk ke kelas kembali. Tak bisa kupastikan suasana
di luar, mungkin saja mereka kini beralih ke kantin sekolah.
Tiba-tiba saja, teman-teman perempuanku
yang melingkar tadi menghampiriku. Tak kusadari, saat kutundukkan kepala
beberapa menit, dan kurapatkan dahi ke lengan yang bersentuhan dengan permukaan
meja. Andai aku tidak lengah, aku bisa sempat lari dari mereka. Tapi tidak lagi.
Mereka kini mengerumuniku, tak ada jalan untuk keluar dari sana atau sekedar
menghindar. Bukan lagi melingkar. Mereka kini
mengambil posisi yang tak begitu jelas, memastikan aku tak akan kemana-mana.
Aku sudah tahu pasti apa yang akan
mereka lakukan. Tadi sudah kusaksikan ketika Itta berada di posisiku. Perempuan-perempuan ini adalah Ana, Dian,
Mimi, Risma, dan Ayu. Kami masih kelas satu di salah satu SMA negeri di
Kabupaten bulukumba.
Sama dengan Itta, semua
pertanyaan yang mereka lontarkan mengerucut pada wanita idamanku. Aku sedikit
malu mengatakannya, aku cuma menyampaikan tentang keinginanku memiliki teman
dekat yang tak jauh beda dari Itta. Bedanya, sedikit kutambahkan. Aku suka sosok teman dekat yang
perhatian dan sederhana dalam bersikap pun bergaul. Setelah pembicaraan itu, sepertinya ada yang menggugah batin ini
untuk kehadiran teman dekat. Di perjalnan pulang, aku terus memikirkannya.
Sepertinya pembicaraan tadi tak ada salahnya juga.
Tentang perempuan idaman,
sebenarnya ia adalah Nuhrayani. Aku kagum saja dengan kesederhanaanya. Semua
kriteria yang kusebutkan di atas, tidak bergeser satu derajat pun itu.
Sebenarnya, sudah lama aku memperhatikannya. Kebetulan kami sering sama-sama,
kami berada di kelas yang sama. Jarang aku berbincang atau sekedar dekat
dengannya. Ada getaran yang membuatku kaku ketika berhadapan dengannya. Sering
kami berpapasan dan sekedar “say hello”.
Disaat begitu, begitu damai ketika melihatnya melampar senyum. Manis. Matanya mengundang
kaki untuk berhenti sejenak, sekedar membiarkan mata itu lewat dengan
jutaan cahaya kemurniannya yang memendar. Ah, aku terlalu larut dalam
keindahannya.
Ketahulah. Seperti yang kusampaikan tadi, kami tak pernah berbicara
lama. Bahkan namanya kutahu dari teman-teman yang menyapanya.
Ada saatnya, katika di kantin.
Tak sengaja kami saling berhadapan di meja yang sama. Aku ketawa saja di dalam
hati, dan ia tersenyum saja sembari mengucap,” Selamat makan, jangan terlalu
banyak sambalnya. Nanti perutmu sakit di kelas”. Yah, itu kalimat panjang
pertama yang disampaikannya langsung kepadaku. Sepertinya aku memerah saat itu.
Kaki yang bergetar tak membuat bibir ini sanggup mengatakan hal-hal yang
sselangit, aku mengiyakan saja denga senyum tipis. Itta yang tepat di sampingku
saat itu menepuk pundakku, menertawai pembicaraan kami yang begitu singkatnya. Aku
malu.
Selama ini, memang aku hanya
mengenal cinta. Belum pernah kumiliki. Aku masih ingat saat-saat di SMP. Aku
pernah suka dengan seorang teman perempuanku, ia tak sekelas denganku. Sama, ia
sederhana. Dua tahun ku pendam rasa sukaku, tapi tak pernah kuutarakan. Hingga
ia harus pindah ke luar Sulawesi, aku tak sempat menyampaikannya atau sekedar
memberi isyarat.
Lama aku memendamya hingga masih kumiliki rasa itu setelah kepergiannya. Hingga saat kudengar kabar setahun kemudian. Ia mengirimkan pesan singkat ke handphoneku, entah darimana ia memperoleh nomor GSMku. Katanya, dari tetangganya yang saudaraan dengan Ibu. Sangat senang.
Terbesik tanya pada diri. Kenapa ia harus menghubungiku? Apa dia tahu perasaanku selama ini? Untuk apa dia menghubungiku? Apakah ia ingin menjalin cinta denganku? Yah, setelah SMS pertamanya itu, aku banyak berpikir tentang bagaimana kami selanjutnya.
Lama aku memendamya hingga masih kumiliki rasa itu setelah kepergiannya. Hingga saat kudengar kabar setahun kemudian. Ia mengirimkan pesan singkat ke handphoneku, entah darimana ia memperoleh nomor GSMku. Katanya, dari tetangganya yang saudaraan dengan Ibu. Sangat senang.
Terbesik tanya pada diri. Kenapa ia harus menghubungiku? Apa dia tahu perasaanku selama ini? Untuk apa dia menghubungiku? Apakah ia ingin menjalin cinta denganku? Yah, setelah SMS pertamanya itu, aku banyak berpikir tentang bagaimana kami selanjutnya.
Tak berselang lama, sekitar lima menit kemuian, dia kembali
mengabariku, “Waf, ke rumah yah minggu depan. Akan ada selamatan, loh. Semgigu
lalu, aku melahirkan, anakku lucu-lucu loh, kembar lagi. Oke yah, datang. Aku tunggu
loh. Jangan sampai ndak, yah Waf? Aku ada di kompleks sebelah loh, di rumah
mertua."
Aku begitu shok mendengar kabar
itu. Padahal baru sja ku save namaya
di kontakku dengan nama “My Honey”. Sepertinya aku terlalu bermimpi. Tak lepas
dari kondisiku yang masih labil, itu terdengar sedikit berlebihan dan alai.
Semangat ku hilang seketika,
begitu GR-nya diri ini. Harusnya tak cepat kusikapi itu dengan bahagia. Yah,
undangan untuk datang ke akikahan anaknya. Itu sudah cukup mengisyaratkan kalau
ia telah didampingi seorang suami, kini.
My Honey segera kuhapus dari
kontak. Sms yang tadi tak ku tanggapi, segera kuhapus. Sore itu, kutenangkan
diri dengan beberapa lagu galau yang ku putar langsung dari handphoneku. Pintu kamar kututup dalam
kesendirian di dalam. Aku menggalau. So
melankolisnya.
Aku tak mau sampai kejadian ini
kutemui lagi dengan Nuhra.
Kemarin-kemarin
aku tahu, Nuhra ada hubungan dengan kakak senior dari kelas IPS. Dan kudapati
kabar, mereka putus. Harusnya aku begitu senang, tapi tidak. Penasaranlah aku
dengan segala akar-akarnya. Kudengar, si senior itu menduakannya. Dan katanya, Nuhra
tak bisa terima hingga akhirnya meminta putus. Sempat merah memuncak dalam
mental, tapi pikir memaksa diri untuk tetap pada jalur. Aku bukan siapa-siapa, berbicara paling panjang pun itu baru sekali, pun itu satu kalimat. Terlebih
lagi sasaranku adalah senior, belum tentu juga Nuhra akan menganggapku
pahalawnnya. Mingkin saja dia malah berbalik memusuhiku jika melakukannya. Dan
kuputuskan untuk tidak melakukan apa-apa.
Hampir setiap hari aku selalu di dalam kelas saat jam isterahat. Bahkan, saat jam pelajaran kosong, tetap di kelas saja. Aku tak mau saja. Aku lebih suka di dalam kelas sembari menunggu nuhra untuk keluar kelas sekedar ke kantin. Sudah seminggu ini Nuhra tak pernah keluar ke kelas, kecuali bel pulang berbunyi. Itu pun dia adalah orang terakhir yang keluar dari kelas. Memang, dia berlaku demikian setelah ia memutuskan untuk sendiri tanpa si seniorku dari IPS itu lagi.
Hampir setiap hari aku selalu di dalam kelas saat jam isterahat. Bahkan, saat jam pelajaran kosong, tetap di kelas saja. Aku tak mau saja. Aku lebih suka di dalam kelas sembari menunggu nuhra untuk keluar kelas sekedar ke kantin. Sudah seminggu ini Nuhra tak pernah keluar ke kelas, kecuali bel pulang berbunyi. Itu pun dia adalah orang terakhir yang keluar dari kelas. Memang, dia berlaku demikian setelah ia memutuskan untuk sendiri tanpa si seniorku dari IPS itu lagi.
Sesekali kuminta teman wanita
untuk menghibur dan mengajaknya ceria. Tak juga mempan. Aku semakin kasihan
padanya. Ingin rasanya ada diri duduk di sebelahnya dan sekedar bercerita
tentang langit uang selalu indah dengan birunya berkat mentari. Tapi itu
bukanlah hal yang mudah, aku harus mempersiapkan diri hingga tak ada lagi
getaran dalam bibir saat berucap dengannya. Yah, itu yang tersulit. Aku masih
jul mahal dan tak mau salah tingkah di hadapan matya yang begitu sendu, aku
juga hanya tak mau terlihat garing berada di hadapannya yang sedang bergalau
ria.
Kusempatkan diri berbagi cerita
ini dengan Itta dan beberapa teman yang lain. Rikhno bilang, sudah saatnya aku
mengambil kesempatan ini. Ana, yang cerewet, menawarkan dirinya untuk jadi mak
coblang. Tapi, langsung ku tolak. Aku kurang yakin dengannya. Dari semua yang
ia comblangin selama ini, semuanya gatot
alias “gagal total”. Dan banyak lagi saran yang kuterima dari yang lain, dan
beberapa diantaranya memang benar. Itta mengatakan bahwa sudah saatnya
kejantananku dibuktikan. Katanya, ini momen yang baik, aku harus menunjukkan
bahwa aku benar-benar peduli padanya.
Sampai saatnya, kuberanikan diri
menghampirinya saat bel pulang berbunyi. Disana, hanya ada kami, aku dan dia. Jujur,
kakiku sangat berat sekali melangkah, tapi syukurlah, aku tidak sampai pingsan
untuk benar-benar sudah berada semeter darinya. Siang itu, sunyi sekali. Aku
slincah ini, karna ia menundukkan dirinya, mungkin ia tidur atau mungkin
menangis, aku tak tahu pasti.
“Nur, Nurhayani, sudah waktunya
pulang nih.” Kusap ia dengan begitu terbata. Dia belum lagi urung dari
posisinya. Terus kusapa ia, dan tak lama, ia berbangun. Aku meminta izin untuk
duduk di sebelah bangkunya. Kuajak ia bercerita, dia sepertinya begitu sakit
dengan kehilangannya. Ini pertama kali aku bercerita benar-benar pannjang
dengannya. Aku tak merasa bangga dengan itu, kutahu ia dalam duka saat ini. Nuhra
curhat.
Rasanya tak enak terlalu berlama
di sini. Kami hanya berdua. Kuajak ia segera bernjak dari sini dan segera
pulang.
Setelah kejadian ini, kami
semakin akrab. Bukan lagi diam-diaman, kami lebih sering bersama, bercerita
panjang. Bukan lagi tentang galau, tapi tentang indahnya langit yang semakin
jelas kebiruannya ketika tersinari matahari. Yah, saat ini aku sering-sering
menyaksikan rupa cerianya. Sebenarnya aku masih sering grogi, kalau ada saat
kudapati matanya sejajar dengan mataku. Langsung aku diam dan merasa damai. Ia sering
mengagetkanku saat menyaksikannku tertegung seperti itu.
Sering-sering aku dan dia
bersama. Hampir setiap hari mengahabiskan waktu isterahat berdua di kelas atau
sekedar ke kantin. Belum kukatakan apa-apa tentang perasaan ku, aku hanya
berharap dia akan segera tahu dari sikapku padanya. Aku sedikit membaca
sikapnya, dan sepertinya aku tak salah memiliki perasaan kagum atau bahkan
lebih.
Semenjak kami sering sama-sama, handphoneku selalu sibuk berkoneksi dengan handphonenya. Memang, sudah lama kami
bertukar nomor handphone, sejak
pertama kali aku memberanikan diri duduk lebih lama di dekatnya, siang itu.
Kalau jam belajar di sekolah
sudah berakhir dan kami harus kembali ke rumah masing-masing, ada kegelisahan
saja saat tak ada kabar darinya. Budaya melow
pedekate anak sekolahan sepertinya menyebar virusnya ke dalam tubuhku.
Sepulang sekolah, sering ku kirimkan pesan singkat dengan beberapa pertanyaan
yang sebenarnya tidak begitu penting. Mulai dari sudahnya makan, tentang sholat,
dan banyak lagi. Aku selalu saja mencari-cari topik yang mesti kubicarakan
dengannya. Kalaupun tak begitu penting, ya mau diapakan lagi. Yang ada dalam
pikir, bagaimana agar aku tetap dapat kabar darinya saja.
Tak sampai disitu. Hampir setiap
malam kusisihkan waktu untuk sekedar telepon-teleponan dengannya. Biar
sebenarnya, kami sering-sering ketemu di kelas. Bagiku, waktu begitu penting,
dan mesti kuluangkan saja dengannya setelah tugas sekolah beres.
Lama sekali kami mengulang cerita
yang sama setiap hari. Mulai dari berduaan di kelas atau di kantin. SMSan,
bahkan telepon-teleponan juga. Dan saatnya kuberanikan diri menyatakan cinta
padanya.
Benar. Masih ada getaran yang
bersumber dari isi dadaku saat berniat menyampaikan semua isi hati. Tapi, kali
ini harus kuberanikan diri. Aku tahu, belum ada kekuatan penuh untuk berdiri di
depannya dan menyatakan ini. Mungkin kuawali saja melalui pesan singkat,
selanjutnya bisa aku telepon. Dan terakhir, barulah kutemuinya. Yah, itu semua kulakukan.
Dia kaget saja saat memperoleh
pesan singkat dariku. Beberapa peryataan tidak begitu percaya ia lontarkan
melalui pesan singkat. Mulai dari alasan kenapa aku suka sama dia, seberpa
cinta padanya, dan kenapa mesti dia. Semua kujawab dengan sederhana. Dari awal,
aku suka dengannya memang bukan tanpa alasan, dia begitu sederhana. Aku tidak
bilang ia tidak cantik dan tidak manis. Dia cantik dan manis, tapi itu bukan
ukuran bagiku. Mungkin itu alasannya. Tapi, ada banyak perempuan yang memiliki
kriteria seperti itu. Yang kuberitahu padanya, tak ada alasan untuk
mempersembahkan cintaku. Menurutku, lebih pantas ia tahu seperti itu. Jauh
sebelum aku menemukan kesederhanaan darinya, atau bahkan kecantikan darinya,
ada getaran yang menggerogoti tubuh kala berpapasan dengannya. Banyak perempuan
sederhana dan cantik yang pernah berpapasan denganku, tapi tak ada saja getaran
seperti dengannya, Nuhra.
Setelah bertemu dengannya, dia
memberi waktu seminggu untuk memberi jawaban yang pasti. Aku terima saja
permintaannya itu. Yah, itu sudah
biasa. Yang kutahu, memang sangat jarang kudengar kabar tentang peryataan cinta
yang begitu langsung di terima oleh perempuan yang diidamkan. Aku tahu betul
itu. Apalagi sudah budayanya perempuan. Merasa tak begitu ternilai ketika harus
menerima cinta begitu saja. Sekilas budaya yang ada.
Minggu berikutnya, kutagih janji.
Aku bertemu langsung dengannya, berdua. Kali ini, aku berjalan berdua dengannya
setelah jam sekolah selesai. Dia sedikit membuatku penasaran dari beberapa
pernyataan yang berusaha mengecohkanku. Aku tak banyak tanya, keringat dingin
meyelimuti badanku di tengah teriknya matahari. Aku berjalan saja dengan
mencoba mengayun kaki lebih ringan.
“Dik, bagaimana ? Sudah ada yang
bisa kau ceritakan denganku?” , ucapanku begitu terbata.
“Tentang seminggu lalu, ya? Maaf. Aku belum bisa. Aku
belum bisa tanpa kamu.” Senyum manisnya dia serahkan ke kedua mataku. Keringat dingin di badanku perlahan mengering. Aku mulai merasakan hangatnya matahari. Ada perasaan lega yang tersirat. Yes, benar-benar terjadi. Perempuan yang kuinginkan telah memberi jawab, dan ya. Ia membalas dengan rasa yang sama, mungkin. Ah, aku tak tahu seperti apa orang orang menyaksikan ekspresi kebahagiaanku saat itu. Sepanjang kunuansakan bahagia, Nuhra diam saja, dengan senyuman yang manis. Aku tahu itu adalah bahagia. Thanks, God!!!
Kami terus melanjutkan perjalanan pulang. Di jalan, kami melalui ratusan rumput yang menari-nari, seolah memberi jalan dan menjabah kami dengan beberapa oksigen tipis. Aku bahagia. Tak ada yang sia-sia, dan inilah yang kudapatkan.
Tapi, tau tidak? Tak begitu lama kami bertahan dalam kondisi ini. Waktu yang begitu singkat, hubungan kami bertahan hanya dua minggu. Alasannya, tak ada kecocokan. Yah, sudah familiar menjadi alasan perpisahan dalam romansa anak SMA. Aku menyadari itu. Tuntutan keseriusan pasti tak akan membuahkan ini.. Dari sini, aku sempat berpikir. Perempuan itu, akan terlihat begitu cantik ketika tak dimiliki. Iya, cantik yang kumaksud kecantikan fisik, plus kecantikan dari dalam. Biarlah tak kumiliki saja, asal tetap terlihat cantik. Hehe, sekedar kuhibur diri untuk meninggalkan kegalauan. Galau, sebenarnya tak begitu galau juga. Aku yakin, Tuhan sengaja membuat skenario ini dalam hidupku. Aku tak sekedar hidup untuk berada di sekitar Nuhra.
Aku yakin, akan ada Nuhra yang lain yang akan kutemui, bahkan lebih. Hari ini, aku berusaha jadi orang baik saja karena Tuhan menjanjikan kebaikan kepada orang baik.
Aku yakin, Tuhan mempersiapkan setiap dari kita untuk menemukan cinta sejati. Yah, aku semakin yakin. Tuhan, aku akan tetap berusaha.
555
CATATAN:
Perempuan. Sengaja penulis menggunakan kata 'perempuan'. Banyak pandangan tentang penggunaan kata 'perempuan'. Mulai dari pemaknaan untuk kedewasaan dan sebagainya. Tapi, dalam cerita ini, penulis memakai kata'perempuan' dengan memandangnya sebagai insan yang terhormat. Sebagaimanaa laki-laki, perempuan memiliki kehormatan. Adalah bentuk terimakasihku kepada perempuan yang pernah hinggap dalam segala jalan hidupku, perempuan-perempuan yang begitu terhormat bagiku. Teman, teman dekat, sahabat. Dan terkhusus kepada ibuku tercinta, St Nuraeni yang penuh kasih.